Keliling Keraton Kaepuhan Serasa Masuk Mesin Waktu

Keliling Keraton Kaepuhan Serasa Masuk Mesin Waktu

CIREBON terkenal dengan nilai budayanya. Salah satu yangmenjadi ikon adalah Keraton Kasepuhan. Keraton Kasepuhan adalah salah satu yang masih terawat. Itu terlihat dari tembok bata yang utuh mengelilingi bangunan keraton dengan tempelan piring-piring keramik kuno indah. Berkunjung ke Keraton Kasepuhan tak hanya memberi pengalaman wisata menyenangkan. Tapi juga menjadi perjalanan sejarah menyimak masa-masa akulturasi berbagai kebudayaan dan agama di Indonesia pada masa lampau. Bentuk dan pengaruh berbagai kebudayaan serta agama itu dapat dengan jelas ditemukan di beberapa bagian keraton. Keraton Kasepuhan merupakan perpaduan tiga kebudayaan, yakni Jawa, Eropa dan Tiongkok. Keraton ini pun merefleksikan keharmonisan tiga agama, yakni Islam, Hindu dan Budha. Pengaruh tiga budaya dan agama itulah yang membuat Keraton Kasepuhan lebih istimewa. Berkeliling dalam Keraton Kasepuhan juga serasa masuk ke mesin waktu. Aura abad ke-15 masih terasa. Arsitektur bangunan masih terlihat megah seperti pada zamannya. Tak heran jika dunia melalui UNESCO mengagumi Keraton Kasepuhan karena masih terjaga keasliannya selama 600 tahun. Berlokasi di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, Keraton Kasepuhan sudah berdiri sejak tahun 1452 oleh Pangeran Cakrabuana. Dulunya, Keraton Kasepuhan bernama Keraton Pakungwati. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Dia wafat pada tahun 1549 dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Nama Ratu Dewi Pakungwati diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama keratin, yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan. Keraton Kasepuhan saat ini terdiri dari berbagai bangunan, mulai dari abad 15 hingga 21. Bentuk fisik bangunan masih asli dan terjaga. Bangunan abad ke-15 yang masih terjaga hingga saat ini yakni Siti Inggil. Siti Inggil berarti tanah yang tinggi, disebut juga lemah duwur dalam Bahasa Cirebon. Siti Inggil terbuat dari susunan bata merah dan memiliki gaya arsitektur Majapahit yang mengikuti perkembangan zaman pada saat itu. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat lima bangunan tanpa dinding, dengan bangunan utama bernama Malang Semirang. Bangunan ini memiliki enam tiang yang melambangkan Rukun Iman. Namun secara keseluruhan, bangunan ini memiliki tiang berjumlah 20 yang melambangkan sifat-sifat Allah. Mendengar penilaian dunia melalui UNESCO yang kagum akan Keraton Kasepuhan, Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadingrat SE mengaku bangga. Dijelaskannya, Keraton Kasepuhan adalah life monument. Artinya, Keraton Kasepuhan adalah bangunan yang masih hidup hingga saat ini. Baik dari segi bangunan maupun tradisi seni dan budayanya. “Keraton Kasepuhan satu-satunya yang tertua yang masih ada dan berdiri kokoh sampai sekarang. Sezaman dengan Kerajaan Demak. Tapi sekarang di Demak sudah tidak ada keratin. Hanya ada Masjid Demak saja,” ujarnya. Untuk menjaga dan merawat cagar budaya peninggalan leluhur itu, sejak masa kepemimpinannya, Sultan Sepuh fokus dua program, yakni revitalisasi dan optimalisasi. Seperti pada tahun 2013 dilakukan konservasi Siti Inggil, lalu Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Astana Gunung Jati tahun 2014. “Ini dilakukan untuk mempertahankan, menjaga, dan merawat keaslian dari bangunanbangunan yang ada di Keraton Kasepuhan. Saya juga berharap agar masyarakat Cirebon bisa menjaga dan melestarikan peninggalan leluhur ini dengan bijak,” harapnya. Selain menjadi tempat pelestarian budaya, Keraton Kasepuhan juga masih mengadakan berbagai acara tradisi yang diselenggarakan setiap tahun. Acara Panjang Jimat salah satunya. Panjang Jimat adalah acara yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. (mik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: