2 WNI Lolos Pancung, 175 Masih Terancam Hukuman Mati

2 WNI Lolos Pancung, 175 Masih Terancam Hukuman Mati

JAKARTA - Kemarin (14/10) adalah hari membahagiakan bagi dua WNI asal Kalimantan Selatan berinisial DT dan AHB yang tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka tidak hanya kembali menginjakkan kaki di tanah air setelah 15 tahun di Arab Saudi, tapi juga lolos dari tajamnya pedang pancung algojo. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Lalu Muhammad Iqbal menyatakan, DT dan AHB lolos dari hukuman mati setelah Mahkamah Agung Arab Saudi mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) oleh pengacara KBRI Al Zahrani. ”Keputusan PK pada 24 Agustus 2014 menetapkan hukuman mati diganti hukuman pidana kurungan lima tahun penjara serta 300 kali cambukan,” katanya, Sabtu (14/10). Menurut Iqbal, DT dan AHB datang ke Saudi sekitar awal 2002 sebagai TKI ilegal di Jeddah. Lazimnya para pekerja ilegal, keduanya hidup bersama pekerja ilegal Indonesia lainnya di penampungan gelap di sekitar Kota Jeddah. Kasus bermula pada Mei 2002, saat ditemukannya jenazah perempuan WNI berinisial AA di penampungan gelap tersebut. Kondisi jenazah mengenaskan karena tubuhnya terpotong menjadi dua. Seorang pria Thailand yang berstatus suami korban dibebaskan dari tuduhan karena tidak terbukti bersalah. Sementara itu, DT dan AHB akhirnya ditangkap dan dijadikan tersangka utama karena melarikan diri dalam peristiwa tersebut. Keduanya divonis hukuman mati mutlak tanpa peluang pemaafan oleh Pengadilan Umum Jeddah pada 12 April 2010. Pemerintah lantas menyewa pengacara setempat, Al Zahrani, untuk memberikan pembelaan. Semua celah hukum dimanfaatkan untuk menyelamatkan keduanya. Termasuk fakta bahwa pemerintah Arab Saudi tidak memberikan penerjemah yang mumpuni untuk membantu keduanya dalam proses hukum yang berlangsung sejak 2002. Fakta-fakta itulah yang menyelamatkan DT dan AHB dari hukum pancung. Iqbal menambahkan, pada Agustus 2015, pemerintah juga berhasil membebaskan Rika Mustikawati, WNI asal Bogor yang dituduh menyihir majikannya. ”Dalam kurun waktu 2015-2017, pemerintah sudah berhasil membebaskan 144 WNI dari ancaman hukuman mati, 21 di antaranya di Arab Saudi,” ungkapnya. Namun, lanjut Iqbal, saat ini masih ada 175 WNI yang terancam hukuman mati, 19 di antaranya di Arab Saudi. Tuduhan yang menjerat, antara lain, adalah pembunuhan, perzinaan, dan dugaan melakukan sihir. Karena itu, pemerintah yang diwakili KBRI dan KJRI terus melakukan upaya-upaya pendampingan hukum bagi WNI terancam hukuman mati. ”Tentunya dengan tetap menghormati hukum negara setempat,” ujarnya. Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, masih sangat banyak WNI di Arab Saudi yang rentan terkena hukuman mati. Dalam penelitian Migrant Care selama setahun terakhir, jumlah WNI yang berbondong-bondong ke Arab Saudi terus meningkat. ”Celah terbesarnya adalah visa kunjungan dan visa umrah,” katanya saat dihubungi tadi malam. Apalagi, menurut analisis Migrant Care, WNI di Arab Saudi selalu rentan terhadap jeratan hukuman mati. Hukum Arab Saudi masih cenderung berpihak kepada para majikan. ”Bisa dikatakan kriminalisasi, contohnya tuduhan melakukan sihir, itu kan halusinasi,” kata Anis. Selama ini, kata Anis, perlindungan terhadap WNI di Arab Saudi masih bersifat pengobatan, belum pada pencegahan. ”Menyelamatkan yang sudah terjerat memang penting, tapi melindungi yang terancam juga harus diperhatikan,” kata Anis. Mengandalkan moratorium TKI ke luar negeri, kata Anis, tidak akan banyak membantu. Selama ini pemerintah hanya menetapkan moratorium di atas kertas. Tidak ada pengawasan yang maksimal. Moratorium justru menjadi bumerang yang membuat semakin derasnya aliran TKI ilegal ke Arab Saudi  ”Moratorium sekarang tidak realistis, kesempatan kerja di dalam negeri juga tidak banyak,” tegasnya. (tau/c10/owi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: