5 Bulan Nelayan Paceklik, Terpaksa Alih Profesi Jadi Buruh Kasar

5 Bulan Nelayan Paceklik, Terpaksa Alih Profesi Jadi Buruh Kasar

CIREBON - Ratusan nelayan di Desa Bandengan, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, mengeluhkan sulitnya mendapatkan tangkapan ikan lima bulan terakhir. Hasil tangkapan para nelayan saat ini, turun drastis dibandingkan lima bulan lalu. Tidak hanya ikan, tangkapan nelayan lainnya seperti kepiting dan rajungan juga sulit didapatkan. Hal tersebut diduga, karena penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan (Attrl) dan musim angin kumbang yang saat ini melanda sebagian besar wilayah Cirebon. “Hasil tangkapan ikan kita turun drastis. Bahkan karena hasil tangkapan yang minim dan jauh dari biasa, banyak nelayan yang enggan melaut karena sudah hampir pasti merugi akibat biaya melaut yang besar dan pendapatan yang kecil. Bisa dibilang ini musim paceklik,” ujar Sobali, ketua Nelayan Desa Bandengan saat ditemui Radar Cirebon. Sobali menjelaskan, tidak sedikit nelayan Bandengan yang akhirnya terpaksa beralih profesi menjadi pekerja buruh kasar. Hal itu untuk menutupi dan mencukupi kebutuhan hidup selama musim paceklik ini berlangsung. “Sekarang lagi musim angin kumbang, ditambah penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Selain itu, nelayan dengan perahu cursin dari Kejawanan juga mencari ikan ke pinggir, sehingga kami yang nelayan kecil jadi sulit mendapatkan ikan. Terlebih, mayoritas nelayan kita ini nelayan dengan perahu kecil, tidak bisa jauh mencari ikan,” imbuhnya. Menurutnya, jika setiap hari cuaca normal dan kondisi laut bersahabat, satu perahu kecil nelayan bisa mendapatkan sekitar 50 kg rajungan. Namun dengan kondisi yang ada sekarang, nelayan bisa mendapatkan 3 sampai 4 kg rajungan juga sudah bagus. “Padahal sekarang, harga rajungan sedang tinggi. Satu kilo bisa 65 sampai 70 ribu. Cuma di laut lagi susah, tangkapan menurun semua. Tidak hanya di sini, kondisi ini hampir merata,” paparnya. Sementara itu, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kabupaten Cirebon, H Suherman saat dihubungi Radar mengatakan, saat ini dari hampir 10 ribu nelayan di Kabaupaten Cirebon, sekitar 40 persennya masih menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. “Sudah banyak yang sadar, dan sekarang berusaha untuk menggunakan alat tangkap ramah lingkungan. Tapi yang bandel ya banyak juga, jumlahnya sekitar 40 persen dari total nelayan Cirebon,” paparnya. Suherman mengakui, saat ini hasil tangkapan nelayan Cirebon terus menurun tiap tahunnya. Hal tersebut salah satunya disebabkan ekosistem laut yang telah rusak karena penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan. Karena itu, sebagai salah satu tindak pencegahannya, dia berharap agar pemerintah secara tegas menerapkan aturan yang sudah dituangkan dalam Permen KP No 2 Tahun 2015. Dalam peraturan yang diteken Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti tersebut melarang penggunaan Attrl. “Kalau penuruanan hasil tangkap itu sudah terjadi sekitar 10 tahun terakhir. Ke sininya bertambah parah. Mudah-mudahan kesadaran para nelayan tumbuh semakin besar dan bersama-sama merehabilitasi ekosistem laut untuk masa depan,” ungkapnya. Terpisah, Samidi, salah satu nelayan Desa Bandengan mengatakan, jika mayoritas nelayan Bandengan saat ini mengalami kondisi yang sama. Selain menghadapi musim paceklik karena minimnya hasil tangkapan, para nelayan juga disulitkan dengan kondisi muara sungai yang sudah lama tidak dinormalisasi. “Kita sementara tidak melaut dulu. Ini untuk menekan biaya yang keluar, daripada utang terus. Selain itu, banyak juga perahu yang kesulitan untuk keluar ke laut, karena sedimentasi di muaranya sudah tinggi,” bebernya. (dri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: