Pesantren Cirebon Respons Perkembangan Zaman dan Transformasi Sosial

Pesantren Cirebon Respons Perkembangan Zaman dan Transformasi Sosial

Tepat pada 22 Oktober, lahir resolusi jihad NU melawan penjajahan. Karena itu pula, 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Sebagai lembaga pendidikan yang sudah berusia tua, peranan pesantren tidak hanya mendidik bangsa mengenai ilmu agama, tapi juga akhlak berbangsa dan bernegara. *** SEKRETARIS Yayasan Lembaga Pendidikan Islam Buntet Pesantren, KH Aris Nimatullah menjelaskan, Hari Santri Nasional menjadi tantangan bagi santri. Bagaimana peranan santri dan pesantren dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Santri dan pesantren yang identik dengan kaum sarungan, dituntut luwes menghadapi perkembangan zaman dengan segala problematikanya. Hal itu yang terlihat di Buntet Pesantren maupun pesantren di Cirebon pada umumnya. Seiring waktu, pesantren yang berada di Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, itu sudah mulai menerima metode pendidikan formal. Perkembangan metodologi itu, kata Kiai Aris, sudah direspons para kiai zaman dulu di Ponpes Buntet Pesantren. Hal itu dibuktikan, saat momentum Sumpah Pemuda, Buntet Pesantren mendirikan Madrasah Wathoniyah Ibtidaiyah. \"Artinya, waktu itu para kiai di Buntet sudah melihat pendidikan formal ini memang juga penting,\" ujarnya. Para kiai Buntet Pesantren sendiri, seperti yang disampaikan Kiai Mutaad, memiliki motto menjaga nilai lama yang baik, mengambil nilai baru yang lebih baik dan beramal salih. Tradisi ini sesuai nilai-nilai yang digariskan Nahdlatul Ulama dalam menghadapi transformasi sosial. \"Sekarang ini perbedaan modern dan tidak modern bukan dari fisiknya. Tapi dari pola pikir. Biar produknya zaman dulu, tapi (pesantren, red) pola pikirnya modern,\" katanya. Pada zaman dulu, pondok pesantren masih melarang santri untuk sekolah. Itu lantaran pada zaman Belanda masyarakat dilarang sekolah. Strategi ini untuk membuat bodoh. Hadirnya pesantren ini, yang kemudian menjadi lembaga pendidikan umat. Sehingga peranan pesantren dalam mencerdaskan kehidupan bangsa memiliki andil yang besar saat itu. Di Buntet kini terdapat sekitar 50 pondok pesantren, dengan jumlah santri sekitar 5.000 lebih. Keberhasilan pesantren mendidik, tentu bukan diukur dari jumlah santri, akan tetapi juga dari kualitasnya. \"Kuncinya seperti yang sering disampaikan, sukses itu ketika manusia banyak memberikan manfaat kepada orang lain, bukan hanya diukur dari jabatan dan harta. Saya sendiri lebih suka santri saya yang ngajar anak-anak di kampung, daripada menjadi anggota DPRD tapi kemudian ditangkap menjadi koruptor,\" bebernya. Memang, kata Aris, ada perubahan standar kualitas santri pada era dulu dan sekarang. Misalnya saja, santri zaman dulu saat usia SD sudah bisa memahami kitab Alfiyah. Namun saat ini, ukurannya untuk SMA saja, jarang yang bisa menguasai Alfiyah. Di Buntet, konsep pesantren salafi dan pendidikan formal ini memang menjadi satu kesatuan. Hal ini juga mengingat menjadi jawaban atas keraguan para orang tua, yang khawatir ketika mereka memasukkan anaknya ke pesantren, pendidikan formalnya menjadi tertinggal. Maka dari itu, Buntet Pesantren melalui Yayasan Lembaga Pendidikan Islamnya, mengakomodasi kebutuhan santri yang juga tetap mengikuti lembaha pendidikan formal. Hal ini sekaligus menjawab tantangan zaman. \"Ini justru ada fenomena baru, banyak yang sudah lulus di sini kuliah. Kemudian ada lagi sudah tamat aliyah gak mau pulang, mereka kuliah. Maka kita buka Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, yang tahun ini sudah mulai dibuka untuk mewadahi anak-anak kuliah,\" ucapnya. Hal yang serupa berlangsung di sejumlah pesantren hampir di Cirebon. Sebut saja, di sejumlah pesantren Gedongan, Kempek, Babakan, Arjawinangun dan lainnya. Corak pendidikan yang ditawarkan pesantren-pesantren di Cirebon ini mengakulturasikan antara metode salafiyah (tradisional) dan khalafiyah (modern). (jamal suteja/bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: