PTS PGRI Masih Alot untuk Dimerger, Ini Alasannya

PTS PGRI Masih Alot untuk Dimerger, Ini Alasannya

JAKARTA - Kebijakan Kemenristekdikti terkait program merger seribu perguruan tinggi swasta (PTS) masih menuai pro dan kontra. Sebagian menyambut baik program tersebut dengan beberapa catatan seperti PTS yang di bawah naungan PP Muhammadiyah, tapi sebagian lain masih alot. Selain Muhammadiyah, banyak PTS yang berada di bawah bendera Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Ketua Umum PGRI mengatakan pengelolaan PTS di bawah PGRI berbeda dengan di PP Muhammadiyah. \"Kalau di Muhammadiyah, kampusnya milik Muhammadiyah. Tetapi kalau PGRI itu milik PGRI-PGRI yang ada di daerah,\" jelasnya. Pada prinsipnya PGRI mendukung program merger itu. Bahkan pada saat digelar rapat koordinasi (rakor) PGRI tahun lalu, salah satu agenda yang dibahas adalah penggabungan atau merger kampus-kampus yang kecil. Baik yang berbentuk akademi maupun perguruan tinggi. Karena asset kampus PGRI milik yayasan yang berada di daerah, Unifah berharap ada skenario merger yang tidak merugikan masing-masing yayasan. Dia menjelaskan merger yang membuat aset benar-benar menjadi satu yayasan, menurut dia bakal sulit terwujud. Dia berharap penggabungan kampus di bawah PGRI, tetap mengakomodasi yayasan-yayasan yang terlibat. \"Jadi manajemennya yang merger. Sementara asetnya tetap menjadi masing-masing. Misalnya milik PGRI di Madura dan PGRI di Surabaya,\" tuturnya. Terkait dengan kepemimpinan rektorat, bisa dibuat bergantian. Unifah berharap, Kemenristekdikti konsisten menerapkan aturan standar minimal layanan pendidikan tinggi. Dia tidak ingin Kemenristekdikti galak kepada PTS gurem, tetapi tidak menindak PTS kaya. Padahal keduanya sama-sama melanggar ketentuan layanan pendidikan tinggi. Dia juga menkritisi kebijakan Kemenristekdikti yang memerbolehkan PTN membuka kampus di luar domisili. Sementara aturan serupa tidak diperbolehkan untuk PTS. Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah menyebut program merger seribu PTS Kemenristekdikti adalah mission impossible. Sebab baginya penggabungan itu butuh usaha ekstra, apalagi yang akan digabungkan itu beda yayasan. \"Kalau satu-dua PTS yang akan merger masih masuk akal. Tetapi kalau sampai seribu prediksi saya sulit,\" jelasnya. Politisi Golkar itu mengatakan, Kemenristekdikti tidak gegabah menerapkan aturan merger itu. Sebaiknya mengutamakan pembinaan dahulu. Kampus-kampus yang masih ada potensi untuk menjadi sehat, sebaiknya dibina dahulu. Tidak langsung disuruh merger. Untuk kampus-kampus yang baru berdiri, menurutnya, diberi kesempatan dahulu untuk berkembang. Jangan langsung disuruh merger. Apalagi yang memberikan izin kepada pengelola kampus gurem sejatinya adalah Kemenristekdikti sendiri. \"Kalau sekarang ingin merger banyak-banyakan, kenapa sebelumnya royal memberikan izin pendirikan kampus,\" ungkapnya. Ferdiansyah menjelaskan, sosio kultur akademik dan budaya setempat juga menjadi potensi penghalang program merger. Dia mencontohkan PTS yang ada di Jawa dipaksa merger dengan PTS di Papua. Menurutnya itu bisa sulit terwujud. Pertimbangan jarak kampus yang digabung juga harus jadi perhatian. Misalnya kampus yang digabung ada di Bekasi dengan di Cirebon. Meskipun sama-sama di Jawa Barat, tetapi jaraknya berjauhan. Kasihan dosen dan mahasiswa saat ada keperluan urusan administrasi. SOSIALISASI MERGER PTS Dirjen Kelembagaan Iptek Dikti Kemenristekdikti Patdono Suwignjo mengatakan, akan memanfaatkan waktu yang tersedia untuk sosialisasi program merger. Di antara yang sudah digelar adalah sosialisasi merger di Surabaya, Jawa Timur akhir pekan lalu. Dia mengatakan dalam kesempatan sosialisasi itu, seluruh PTS diharapkan menyampaikan uneg-uneg-nya. Sehingga bisa segera dicarikan solusinya. \"Sebaiknya jangan berpikiran susahnya dahulu. Sebab Kemenristekdikti sudah menyiapkan insentif kebijakan bagi kampus yang bersedia merger,\" tuturnya. Patdono tetap optimis bahwa program merger seribu kampus berjalan dengan baik atas dukungan banyak pihak. Dia menjelaskan, saat ini jumlah kampus di bawah Kemenristekdikti cukup banyak. Tetapi angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi masih sekitar 45 persen. Itu artinya, daya tampung setiap kampusnya tidak ada yang banyak, ada pula yang sedikit. (wan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: