Kota Cirebon Masuk Daerah Rawan Kasus Intoleransi

Kota Cirebon Masuk Daerah Rawan Kasus Intoleransi

CIREBON - Fahmina Institute menggelar refleksi akhir tahun di Hotel Bentani, Sabtu (30/12). Acara yang bertajuk \"Keberagaman dan Toleransi di Wilayah III Cirebon\" itu di hadiri beragam latar belakang. Hadir sebagai pembicara, Djafar Nur Alamsyah (The Wahid Foundation), Nuruzzaman (Densus 99), Arif Rahman (Kasat Intel Polres Ciko), Rosidin (Fahmina Institute), KH Husein Muhammad (Tokoh Muslim Indonesia). Jalannya refleksi dimoderatori Marzuki Wahid. Berdasarkan data The Wahid Foundation, kasus pelanggaran kemeredekaan beragama dan berkeyakinan (KBB) atau intoleransi di Indonesia tahun 2016, Jawa Barat paling tinggi. Sebanyak 28 kasus pelanggaran KBB terjadi di Jawa Barat. Namun, dari angka tersebut, pelanggaran KBB mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir (2014-2016). Rinciannya, 2014 sebanyak 55 kasus, 2015 sebanyak 46 kasus dan 2016 sebanyak 28 kasus. Untuk wilayah III Cirebon, pelanggaran KBB tahun 2016 terjadi di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, masing-masing 1 kasus. Artinya, untuk wilayah III Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon merupakan daerah yang rawan kasus intoleransi. Banyak faktor angka pelanggaran KBB tinggi di Jawa Barat. Faktor itu di antaranya demografi yang populasi dan kepadatan penduduknya paling padat. \"Jumlah penduduk muslim sekitar 42 juta orang. Populasi muslim terbesar di Indonesia berdasarkan sensus BPS 2010,\" kata Djafar. Kemudian faktor keagamaan. Berkembangnya pemahaman keagamaan yang intoleran dan radikal seiring menjamurnya kelompok-kelompok baru pascareformasi. Faktor politik dan tata kelola pemerintah. Lemahnya penegakan hukum dan kapasitas aparat pemerintah, politisasi isu agama. \"Kasus Ahmadiyah Kuningan dan kegiatan Syiah di Kota Bogor,\" paling menonjol. Faktor penting lainnya terkait pelanggaran KBB yakni adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang diskriminatif. Seperti kebijakan diskriminatif terhadap JAI, Syiah, komunitas agama/keyakinan lokal (Sunda Wiwitan), pendirian rumah ibadah. \"Kemudian lahirnya perda bernuansa satu agama juga menjadi faktor tingginya pelanggaran intoleransi di Jawa Barat dan wilayah III Cirebon, khususnya,\" kata Djafar. Meski demikian menurut Djafar, mayoritas masyarakat Indonesia masih memilih Pancasila sebagai ideologi kebangsaan. \"Hanya 2,5 persen yang berkehendak syariat islam dan 1,5 persen menghendaki sistem lain yang non syariat islam,\" tutup Djafar dalam paparannya. (hsn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: