Ada Hujan, Produksi Bata Tetap Berjalan

Ada Hujan, Produksi Bata Tetap Berjalan

CIREBON - Selalu ada jalan bagi mereka yang mau berusaha. Contohnya adalah warga Desa Curug Wetan, Kecamatan Susukanlebak yang tidak menjadikan hujan sebagai penghalang pekerjaannya. Ya, sebagian warga Desa Curug Wetan bekerja sebagai perajin batu bata merah. Jumlahnya tidak sedikit. Ini bisa terlihat dari saung-saung besar yang terlihat kokoh di sana. Saat ini, lebih dari seratusan orang menggantungkan hidup dari sektor tersebut. Sehingga, tidak aneh, pada masa jayanya, Desa Curug Wetan pernah mendapat julukan Kampung Batu Bata. Yang membedakan perajin batu bata di Curug Wetan dengan wilayah lain adalah, proses produksi berlangsung sepanjang tahun. Artinya, meskipun hujan turun dengan intensitas tinggi, tidak mengganggu jalannya produksi. Hal tersebut disampaikan salah satu perajin, Didi (60). Menurutnya, hanya di Desa Curug Wetan saja produksi selama musim hujan tetap berlangsung. “Kita tidak ada persoalan meskipun hujan. Kadang bikin batanya di lapangan. Jika hujan, kita tutup plastic. Kalau pun terpaksa, kita bikin di dalam saung biar nggak kecipratan air hujan,” ujar Didi. Harga batu bata produksi Curug Wetan cukup terjangkau. Per bijinya dihargai sekitar Rp 550. Namun, meski harganya murah, kualitasnya tidak bisa dianggap sepele. Para perajin, menurut Didi, selalu memperhatikan kualitas dan kepuasan para pembeli. “Kalau kita produksinya asal jadi, tentu perajin di sini tidak akan bertahan selama ini. Pembeli juga akan lari. Tapi faktanya bisa bertahan sampai sekarang. Usaha ini sudah berpuluh-puluh tahun. Sudah turun-temurun. Makanya, banyak yang kenal kalau nyebut batu bata Curug,” tuturnya. Diakuinya, saat ini perajin batu-bata terus menyusut setiap tahunnya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa factor, dari mulai ketersediaan lahan yang semakin menipis, hingga banyak anak perajian yang ogah meneruskan usaha orang tuanya. “Kalau dulu banyak sekali. Sekarang sudah menyusut. Anak saya saja tidak mau jadi perajin. Dia milih kerja yang lebih baik. Sekarang mungkin jumlah perajin tidak lebih dari 50 orang,” bebernya. Dalam satu bulan, Didi mengaku bisa membakar batu bata dua kali. Dalam satu kali proses pembakaran, dia bisa membakar setidaknya 10 ribu bata. “Kalau harganya Rp 550 per biji, berarti kita bisa menghasilkan Rp 10 juta per bulan. Jumlah itu kotor, belum dikurangi ongkos kerja, pembakaran, dan lain-lain. Paling bersih sekitar Rp4 juta sampai Rp 5 juta,” katanya. Sementara itu, Kuwu Desa Curug Wetan, Zaenudin mengatakan, usaha perjian batu bata di desanya sudah ada berpuluh-puluh tahun, bahkan sudah ada sebelum dia lahir. (dri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: