HKTI dan Perpadi Bereaksi, Mau Panen Raya Kok Impor Beras?

HKTI dan Perpadi Bereaksi, Mau Panen Raya Kok Impor Beras?

Lagi-lagi impor beras. Kebijakan impor beras sebanyak 500 ribu ton dari Vietnam dan Thailand yang diambil pemerintah dengan alasan stabilisasi harga beras, ditentang berbagai pihak. Jika tetap dilakukan, maka akan berdampak sistemik, khususnya bagi para petani. Terlebih, para petani akan segera menghadapi panen raya yang diprediksi mulai pada bulan Februari 2018. ================= “KITA agak kaget dengan rencana impor ini. Stok gabah di petani masih ada, belum seluruhnya terserap. Stok beras di Bulog juga masih memadai, lalu kenapa harus impor?” ujar Ketua HKTI Kabupaten Cirebon, Tasrip Abubakar kepada Radar, Minggu (14/1). Menurutnya, yang harus dilakukan pemerintah dalam persoalan ini, memperbaiki tata kelola perniagaan beras, sehingga tidak terjadi lonjakan ataupun monopoli. “Harga gabah kering saat ini Rp7.100 sampai 7.500/kg. Kalau di pasar harga berasnya Rp13 sampai 15 ribu/kg. Berarti ada yang mengambil keuntungan sampai 100 persen. Ini yang harus diperbaiki,” imbuhnya. Dijelaskannya, saat ini, peran Bulog kurang begitu dirasakan kehadirannya oleh para petani. Bahkan, sangat sedikit para petani yang menjual gabahnya ke Bulog. Para petani lebih nyaman menjual ke tengkulak, karena harganya lebih mahal. “Untuk gabah kering, Bulog paling mentok di angka Rp5.100. Jadi, dalam persoalan ini Bulog belum mampu bersaing dengan tengkulak yang lebih fleksibel dan lebih cepat responsnya terhadap para petani,” bebernya. Terpisah, Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Kabupaten Cirebon, Sandi Wiranata mengatakan, rencana pemerintah melakukan impor beras, sebenarnya bukan solusi dalam mengatasi kelangkaan bahan baku gabah untuk penggilingan padi dan pedagang beras. “Itu bukan solusi untuk mengatasi harga beras yang saat ini sedang tinggi, karena stok gabah lagi sulit,” ujarnya. Kebijakan mengimpor beras, kata Sandi, justru akan membuat petani dan pedagang bertambah merugi. Hal ini karena beras impor bakal tidak langsung terserap habis, sehingga justru menjatuhkan harga beras saat musim panen tiba. Karena pasti, masih ada beras impor yang tersebar di pasaran. Belum lagi adanya potensi penimbun yang nakal. Sandi justri menilai, adanya kenaikan harga beras dan minimnya gabah ini, lantaran pemerintah yang belum mampu mengelola tata niaga beras. Baginya, ada yang salah dalam tata niaga beras. Semestinya, kementerian terkait, yakni Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan bersinergi. Kementan misalnya, punya peranan dalam mengamankan bahan baku gabah. Sedangkan Kemendag punya peran dalam mengontrol harga jual beras. Dia juga melihat, di sisi lain peran Bulog, perlu dipertanyakan. Hal ini karena Bulog tidak bisa menstabilkan kelangkaan gabah akibat gagal panen pada tahun 2017, lalu. Kinerja Bulog ini, sudah sepatutnya bisa memprediksi hal ini. “Jangan sampai mereka hanya untuk celengan kepentingan pejabat tertentu,” jelasnya. Bukan hanya masalah tata kelola, Sandi juga menilai faktor alam juga berpengaruh  dan memiliki andil besar dalam membuat kenaikan harga beras. Dia menyebutkan, harga gabah basah petani saat ini mencapai Rp650 ribu/kuintal atau Rp6.500/kg, dan Gabah Kering Giling Rp800 ribu/kuintal atau Rp8.000/kg. “Bisa dibayangkan, harga beras di tingkat penggilingan sudah mencapai Rp12.500 dan kalau kita cek di pasar, pedagang sudah menjual beras 14.000/kg,” sebut Sandi. Sebagai pelaku usaha, dirinya merasa keberatan dengan pemerintah melakukan impor beras dan juga menetapkan Harga Ekonomi Tertinggi (HET) beras. Menurutnya, penerapan HET untuk komoditi beras tidak tepat. Hal ini karena pasokan gabah yang tidak tersentralisasi dan panen tidak merata. Sementara itu, Sumarta, salah seorang petani di Desa Sigong, Kecamatan Lemahabang mengatakan, rencana impor beras yang dilakukan pemerintah merupakan pukulan telak bagi para petani. Pasalnya, hal tersebut bisa mengakibatkan harga gabah di tingkat petani menjadi anjlok dan gabah milik petani tidak terserap pasar. “Kita ini kan mau panen. Kalau mau impor ya aneh juga. Tapi masa iya mau impor? Sawah kita banyak, produksi hampir sepanjang tahun. Kalau mau impor nanti gabah dan beras kita mau dikemanakan?” ungkapnya. (dri/jml)      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: