Indonesia Terancam Bangkrut, Utang Negara Tembus Rp4.000 Triliun

Indonesia Terancam Bangkrut, Utang Negara Tembus Rp4.000 Triliun

JAKARTA-Hutang negara Republik Indonesia ke negara lain terus naik tiap tahunnya. Angkanya nyaris mendekati Rp4.000 triliun. Bahkan, kalau digabung dengan utang swasta, utang tersebut tembus ke Rp4.500 triliun. Kendati demikian, pemerintah memastikan utang sebanyak itu tak membahayakan. Sementara ekonom terbelah, ada yang bilang lampu kuning, ada yang bilang masih lampu hijau. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, jumlah utang pemerintah pusat hingga akhir 2017 hampir Rp4.000 triliun atau angka tepatnya Rp3.938,7 triliun atau 29,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jika dihitung sepanjang 2017, pemerintah pusat telah mengambil utang sebanyak Rp472 triliun jika dihitung dari posisi 2016 sebesar Rp3.466 triliun. Melansir APBN Kita, jumlah utang pemerintah pusat Rp3.938,7 triliun ini terdiri dari instrumen pinjaman sebesar Rp744,0 triliun atau 18,9 persen dari total, dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp3.194,7 triliun atau 81,1 persen. Sementara, berdasarkan Bank Indonesia, pertumbuhan utang luar negeri RI akhir November lalu sudah mencapai 347,3 miliar dolar AS atau setara dengan Rp4.562 triliun jika menggunakan kurs hari ini yaitu Rp13.300 per dolar AS. Jumlah tersebut naik 9,1 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan paling tinggi didorong jumlah utang luar negeri pemerintah. Jika dirinci, utang luar negeri paling tinggi masih didominasi sektor publik (pemerintah dan BI) yaitu sebesar 176,6 miliar dolar AS. Sedangkan untuk sektor swasta jumlahnya mencapai 170 miliar dolar AS atau naik sekitar 4,2 persen secara tahunan. Meski utang luar negeri naik, BI memandang risikonya masih terkendali. Sebab, rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir November 2017 masih stabil di kisaran 34 persen. “Rasio tersebut masih lebih baik dibanding rata-rata negara peers,” demikian dikutip dari laporan tersebut. Utang luar negeri juga diklaim aman lantaran didominasi utang jangka panjang. Porsi utang luar negeri jangka panjang mencapai 85,7 persen, sedangkan yang berjangka pendek hanya 14,3 persen. Meski begitu, pertumbuhan utang jangka pendek tercatat cukup tinggi yaitu 19,8 persen secara tahunan dan 10,8 persen secara bulanan. Pertumbuhan tersebut di atas utang jangka panjang yang naik 7,5 persen secara tahunan dan 3,9 persen secara bulanan.Jika dilihat secara sektoral, utang luar negeri swasta terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih (LGA), serta pertambangan. Porsi utang luar negeri keempat sektor tersebut mencapai 77,6 persen terhadap total utang luar negeri swasta. Ini artinya, porsinya sedikit meningkat dibanding bulan sebelumnya sebesar 76,9 persen. “Secara tahunan, pertumbuhan utang luar negeri di sektor keuangan, industri pengolahan, dan LGA meningkat. Sedangkan ULN di sektor pertambangan secara tahunan menurun,” kata laporan tersebut. Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan utang tidak selamanya buruk. Pasalnya, negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat tetap memiliki utang untuk mendorong perekonomian. Yang terpenting, utang digunakan untuk hal-hal produktif. “Yang tidak boleh, kalau pinjam tapi tidak untuk yang produktif. Itu nanti terpaksa harus mencari dari kegiatan lain dana pembayarannya,” kata Darmin. Menurut dia, Indonesia juga bisa saja mengambil opsi tidak berutang. Tapi, kata dia, konsekuensinya pertumbuhan perekonomian tidak akan mencapai target yaitu 5,2 persen. “Siap-siap pertumbuhannya 3 sampai 4 persen, mau?” ujar Darmin. Pengamat ekonomi dari Indef, Bhima Yudhistira menilai jumlah utang luar negeri RI yang sudah mencapai Rp4 ribu triliun ini perlu diwaspadai atau sudah masuk lampu kuning. Dari data statistik utang luar negeri bisa dilihat bahwa pertumbuhan utang luar negeri pemerintah kian pesat. Artinya pemerintah lebih agresif berutang daripada swasta. “Ini kondisi anomali,” kata Bhima. Dengan bertambahnya utang tersebut, Bhima khawatir kemampuan bayar utang oleh pemerintah semakin menurun. Apalagi prospek penerimaan pajak di 2018 akan sulit terealisasi. Sementara analis dari Bank Permata Joshua Pardede menilai pengelolaan utang luar negeri pemerintah masih baik. Apalagi jika dilihat dari komposisinya, 81 persen yang merupakan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan porsi kecil sekitar 19 persen merupakan pinjaman. Hanya, dia berharap, kebijakan pengelolaan utang tersebut digunakan untuk mendorong produktivitas yang dialokasikan untuk pos belanja yang produktif sehingga menciptakan ketahanan dan kesinambungan fiskal. (ysp/pojoksatu)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: