UU MD3 Jadi Polemik, MKD Siap Hadapi Judicial Review

UU MD3 Jadi Polemik, MKD Siap Hadapi Judicial Review

JAKARTA - Rapat paripurna DPR-RI telah mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) menjadi UU MD3. Banyak pihak yang mengkritisi undang-undang ini, karena dinilai sebagai kemunduran dalam berdemokrasi. Ada tiga hal di UU MD3 yang dianggap bermasalah. Yaitu, soal hak imunitas DPR, izin pemeriksaan anggota DPR ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dan pemanggilan paksa DPR. Misal, di pasal 122 huruf k, disebutkan bahwa MKD diberikan kewenangan mengambil langkah hukum, apabila ada pihak yang merendahkan martabat DPR dan anggota DPR. Masalahnya, di UU tersebut tidak dijelaskan secara gamblang apakah yang dimaksud merendahkan martabat itu. Sangat mungkin, DPR lewat MKD menafsirkan secara subyektif kata menghina atau merendahkan martabat DPR ini. Akibatnya, pasal tersebut bisa digunakan untuk membungkam, bahkan memidanakan pihak-pihak yang menyoroti kinerja DPR. Menanggapi polemik tersebut, Ketua MKD, Sufmi Dasco Ahmad, menilai bahwa pasal-pasal tersebut penting diadakan di UU MD3, untuk menjaga marwah anggota dewan. Karena itu, hak imunitas juga penting bagi anggota DPR, agar tidak dikriminalisasi. Namun demikian, Dasco menegaskan, terkait kasus-kasus tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi, maka tidak perlu harus melalui pertimbangan MKD. Yang harus melalui pertimbangan MKD, hanyalah tindak pidana umum saja. \"Nah, di situlah masyarakat perlu memahami isi Pasal 245 UU MD3 tersebut,\" katanya di ruang MKD, Gedung Nusantara I, Komplek Parlemen, Jakarta, kemarin. Dasco menambahkan, bila ada anggota DPR terjerat tindak pidana umum, maka MKD berhak menyelidiki terlebih dahulu. Kemudian, bila yang bersangkutan terbukti bersalah, maka MKD akan memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak berwajib. \"Pada pasal 245 UU MD3 itu sebenarnya sudah sangat jelas. Karena di situ hanya fokus kepada tindak pidana umum,\" ujarnya. Apabila ada pihak yang merasa keberatan dengan pasal-pasal dalam UU MKD tersebut, lanjut Dasco, dipersilakan mengujinya ke Mahkamah Konstitusi (MK). \"Silakan saja, bila ada yang berkebaratan, judicial review ke MK,\" imbuhnyya. Penjelasan yang sama disampaikan Wakil Ketua MKD, Syarifuddin Sudding. Anggota Fraksi Hanura ini mengatakan, pasal 122 huruf K itu berfungsi untuk menjamin kehormatan DPR dan anggotanya. Tidak ada maksud dari anggota DPR maupun MKD, untuk mengkriminalisasi orang yang mengkritik DPR. Asal, kritik yang konstruktif (membangun). \"Mengkritik atau menuntut anggota dewan untuk bekerja sesuai dengan semestinya, ya boleh saja. Jadi, bisa dilihat bahwa ini sebenarnya berbicara institusi. Bukan orang per orang,\" pungkasnya. (zain)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: