Pemerintah Jokowi-JK Lemah di Serapan Tenaga Kerja

Pemerintah Jokowi-JK Lemah di Serapan Tenaga Kerja

JAKARTA – Lembaga riset ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) merilis kajian terkait kinerja pemerintahan Joko Widodo di sektor tenaga kerja. Mendekati Pemilu Presiden 2019, Indef mendapati adanya kelemahan dari pemerintahan Presiden Jokowi terkait penyerapan tenaga kerja. Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional yang juga ekonom senior Indef Drajad menyatakan, dari indikator penciptaan tenaga kerja, kinerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla lebih rendah dibanding pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tetapi lebih baik dari era SBY-JK. “Jika tahun 2005 dikeluarkan, era Jokowi-JK lebih lemah dari SBY-Boediono,” ucapnya. Drajad menjelaskan, rata-rata pertambahan penduduk bekerja era Jokowi-JK lebih rendah ketimbang SBY-Boediono. Pertambahan penduduk bekerja tiap tahun di era Jokowi rata-rata sebesar 2.127.211 jiwa. Sedangkan era SBY-Boediono sebesar 2.868.457 pekerja. “Rasio penciptaan kerja era Jokowi-JK juga lebih rendah dari SBY-Boediono, yakni 426.297 berbanding 467.082,” jelas Drajad. Peneliti Indef Andry Satrio Nugroho menyatakan, rata-rata penyerapan tenaga kerja di era Jokowi-JK ditopang jasa perdagangan dan transportasi. Sektor perdagangan, restoran, dan jasa akomodasi memberikan kontribusi terbesar dengan pertambahan 1.106.590 jiwa bekerja tiap tahun. Pemerintahan Jokowi juga “diselamatkan” oleh berkembangnya transportasi online dengan kontribusi 169.137 penduduk bekerja tiap tahun, jauh lebih tinggi dari era SBY-Boediono yang mengalami minus 300 ribu pekerja. “Sayangnya, transportasi online ini justru dipersulit di era Jokowi-JK melalui regulasi. Hal ini perlu dikoreksi apabila pemerintah ingin menambah lapangan pekerjaan,” ujarnya. Penurunan paling terasa dari serapan tenaga kerja era Jokowi-JK terjadi di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuhan, dan perikanan. Jumlah penduduk bekerja berkurang 700.624 jiwa. Sektor penggalian dan pertambangan juga kehilangan 50 ribu penduduk bekerja. ”Ini melanjutkan tren minus di era SBY-Boediono,” kata Andry. Di tempat yang sama, anggota Fraksi Partai Golkar M Misbakhun menilai, upaya pemerintah untuk meningkatkan serapan tenaga kerja adalah melalui dana desa. Alokasi dana desa ke program padat karya menjadi salah satu jalan sekaligus tantangan pemberdayaan masyarakat secara umum. “Pencairan dana desa dengan skema cash for work digadang-gadang menyerap 5,8 sampai 11,8 juta pekerja baru. Jumlah orang miskin bakal turun 355 ribu jiwa,” ujar Misbakhun. Menurut dia, anggaran dana desa tiga tahun terakhir juga menanjak. Mulai Rp20,67 triliun atau sekitar Rp280,3 juta per desa pada 2015 naik menjadi Rp 60 triliun atau sekitar Rp800,4 juta per desa pada 2017. “Dengan demikian, bisa dikatakan secara teknis janji transfer dana desa mencapai Rp1 milliar per desa telah diwujudkan,” ucapnya. (bay/c17/oni)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: