Evaluasi Pembangunan Gedung Setda Kota Cirebon Terus Tertunda

Evaluasi Pembangunan Gedung Setda Kota Cirebon Terus Tertunda

CIRBON - Kelanjutan pembangunan gedung Sekretariat Daerah (Setda) masih tanda tanya. Evaluasi pembangunan gedung delapan lantai itu pun belum terlaksana hingga Selasa (27/2). Walaupun kontraktor sudah diberi tambahan waktu, tapi Pemerintah Kota Cirebon belum mengeluarkan kebijakan atas tidak selesainya pembangunan. Meski begitu, Pemerintah Kota Cirebon sudah mengalokasikan kebutuhan mebel untuk gedung baru tersebut. Nilainya mencapai Rp 12 miliar. \"Itu buat mengisi semua lantai,\" ujar Asisten Administrasi Pemerintahan dan Kesra Sekretariat Daerah, Vicky Sunarya, kepada Radar Cirebon. Bila dihitung, rata-rata per lantai membutuhkan anggaran Rp 1,5 miliar untuk mebeler. Jumlah itu, belum termasuk termasuk kebutuhan elektronik di setiap lantai. Pemerintah sendiri merencanakan untuk elektronik saja lebih dari Rp5 miliar. \"Anggaran ini sudah dialokasikan dan rencananya akan dilelang pada tahun ini,\" jelasnya. Meski terlihat besar, Vicky menilai, angka tersebut diklaim sudah efisien. Rencananya mebel sendiri masih memanfaatkan sisa yang masih layak pakai. Tetapi ada beberapa yang memang harus baru. Sehingga tujuan efisiensi ini bisa tercapai. Vicky berharap, gedung sekretariat daerah yang  baru ini dapat mengoptimalkan kinerja aparatur. Sebab, tiap tahunnya ada biaya yang harus dikeluarkan untuk pemeliharaan. Berdasarkan perhitungan, diperkirakan pemeliharaan membutuhkan Rp5 miliar. Sementara itu, dijadwalkan rencananya Selasa (27/2) lalu pukul 13.00 WIB Komisi II DPRD Kota Cirebon mengadakan rapat bersama Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) di Ruang Griya Sawala. Namun, hingga pukul 14.00 WIB tidak ada pertemuan kedua pihak tersebut. DPUPR sendiri belum dapat dikonfirmasi terkait pembatalan rapat ini. Sebelumnya, Ketua Komisi II DPRD Kota Cirebon, Watid Syahriar meminta pemerintah kota segera menghitung hasil pekerjaan. Dalam banyak kasus, ketika putus kontrak kerap menimbulkan masalah. “Yang repot adalah opname prestasi, itu biasanya terjadi selisih,\" ujar Watid, Senin (26/2). Watid memprediksi, kontraktor akan mempertahankan diri atas hasil kinerja. Padahal, dari hasil pantauan Komisi II, dinilai tidak memuaskan. Dengan perhitungan itu, dia khawatir bakal memicu perselisihan antara kontraktor dan pemkot. Sebab, mereka sudah terbelit kewajiban denda. Itu belum termasuk hasil akhir opname yang mungkin jauh di bawah klaim kontraktor. Yang menjadi catatan, opname itu bukan hanya dari segi kuantitas. Tetapi juga menyangkut kualitas hasil pekerjaan. “Kalau nggak salah mereka kena denda Rp 350 jutaan. Misal itu kurang 7 persen. Selisih 7 persen dari Rp 86 miliar itu besar,” tandasnya. (mik)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: