Kisruh Impor Garam: Sengkarut dan Kejanggalan

Kisruh Impor Garam: Sengkarut dan Kejanggalan

Sebagaimana telah diberitakan Radar Cirebon, Garam Impor Masuk Cirebon, Tidak Boleh Bocor untuk Pasar Konsumsi bahwa saat ini, dari tiga juta ton garam impor yang didatangkan pemerintah Indonesia, sebagian sudah masuk ke Cirebon beberapa minggu yang lalu. Tiga gunungan garam impor sudah berada di salah satu gudang milik pengusaha di Desa Astanamukti, Kecamatan Pangenan. Lantas, apa persoalannya?  Sejak diterbitkannya peraturan pemerintah tentang izin impor garam jelas berseberangan dengan Undang-Undang Perlindungan Nelayan. Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri pada 15 Maret 2018. Dalam peraturan tersebut, pemerintah menggugurkan fungsi Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai institusi pemberi rekomendasi impor garam yang diamanatkan Undang-Undang Perlindungan Nelayan. Dengan kata lain, kewenangan tersebut beralih dari Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ke Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Nah, sebelum sampai ke tahap itu, sempat terjadi polemik. Polemik bermula ketika Susi menolak keputusan rapat koordinasi terbatas (rakortas) di Kementerian Koordinator Perekonomian yang menetapkan kebutuhan gula industri 2018 sebesar 3,7 juta ton. Angka 3,7 juta ton itu adalah usulan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Susi menilai angka tersebut terlalu banyak dan melebihi kebutuhan yang semestinya dipenuhi. Orang nomor satu di KKP ini hanya merekomendasi impor garam industri sebanyak 2,17 juta ton. Sedangkan Kemenperin kekeh dengan 3,7 juta ton. Akhirnya, Kementerian Perdagangan selaku regulator yang menerbitkan izin impor mengambil jalan tengah yakni mengeluarkan izin impor untuk 2,37 juta ton. Izin impor garam diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan pada awal Januari 2018 untuk kuota 2,37 juta ton. Seiring waktu berjalan, terdapat beberapa perusahaan yang mengalami masa krisis karena tidak mendapat jatah garam industri. Dengan melihat berbagai kepentingan, Presiden Jokowi akhirnya menandatangani peraturan pemerintah (PP) soal pengalihan hak rekomendasi impor garam industri dari KKP ke Kemenperin. PP tersebut dalam proses pemberian nomor di Kementerian Hukum dan HAM. Padahal, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam menyebutkan, \"Dalam hal impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman, menteri terkait harus mendapatkan rekomendasi dari menteri.\" Artinya, Menteri Kelautan berwenang memberi rekomendasi kuota impor yang diperlukan. Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian, yang menyokong lahirnya peraturan pemerintah itu, tak peduli aturan tersebut bertentangan dengan undang-undang. Impor garam tetap berjalan dengan mendengarkan kebutuhan industri yang spesifik membutuhkan garam dengan kandungan natrium klorida sebesar 97 persen-standar mutu yang belum sepenuhnya bisa dipenuhi petani garam. Impor garam menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan. Langkah ini sudah dijalankan selama 15 tahun terakhir. Selain bertentangan dengan undang-undang, peraturan pemerintah ini janggal karena secara rigid mencantumkan volume impor garam, yakni 2,37 juta ton dari kebutuhan 3,7 juta ton setahun. Padahal, hingga tingkat peraturan menteri, selama ini pemerintah tidak pernah merinci angka impor komoditas tertentu, hanya prosedur impor. Kalaupun peraturan itu menyebutkan angka kuota impor garam, seharusnya pemerintah juga mencantumkan volume garam lokal yang wajib diserap industri. Pemerintah hanya mengakomodasi kebutuhan garam untuk industri, sementara serapan garam petani terabaikan. Karena itu, langkah Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia yang berencana menggugat peraturan itu ke Mahkamah Agung sudah tepat. Memang terasa janggal, Indonesia sebagai negara maritim dan dilewati garis khatulistiwa bisa kekurangan pasokan garam. Namun perlu dipahami, impor garam tak terelakkan karena kualitas dan produksi garam rakyat hanya bisa memenuhi sepertiga dari kebutuhan garam industri nasional. Produksi PT Garam (Persero) sebanyak 2 juta ton pun tak mencukupi. Maka, impor menjadi jawaban saat ini. Meski begitu, volume impor garam seharusnya berangsur-angsur berkurang jika pemerintah dan pengusaha mendorong petani garam meningkatkan kualitas, juga menggenjot produksi melalui program penambahan lahan garam baru. Kenyataannya, volume impor garam terus meningkat dari 2,1 juta ton pada 2016 menjadi 2,6 juta ton pada 2017, dan 3,7 juta ton pada 2018. (wb)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: