Memaknai Parmas di Pesta Demokrasi

Memaknai Parmas di Pesta Demokrasi

PILKADA serentak di 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten) sudah selesai digelar pada 27 Juni lalu. Termasuk di wilayah III Cirebon. Tahapan pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua tingkatan juga sudah rampung. Mulai tingkat kecamatan (PPK) pada rentang 30 Juni-4 Juli, tingkat kabupaten (KPU kabupaten/kota) mulai 4-6 Juli dan tingkat provinsi (KPU provinsi). Untuk tingkat provinsi, KPU Provinsi Jabar melaksanakannya pada Minggu, 8 Juli 2018. Hasil perolehan suaranya juga sudah diketahui masyarakat luas. Termasuk siapa yang mendapatkan suara terbanyak baik pemilihan bupati/walikota maupun pemilihan gubernur. Terlepas dari adanya dinamika pasca hasil rekapitulasi di tingkat kabupaten/kota –khususnya pada pemilihan bupati/walikota-. Itu patut diapresiasi. Sepanjang sesuai dengan regulasi yang ada. Karena bagian dari proses demokrasi yang dilindungi konstitusi. Dalam hal ini penulis tidak akan mengupas tentang persoalan tersebut. Yang menarik dari pesta demokrasi tahun ini menurut penulis adalah  tingginya animo masyarakat. Ini tercermin jumlah partisipasi masyarakat (parmas). Di wilayah Cirebon, angka parmasnya mengalami peningkatan. Parmas, menurut PKPU No 8 Tahun 2017 tentang  Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, adalah keterlibatan perorangan dan/atau kelompok masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan. Di Kota Cirebon misalnya. Paslon Nasrudin Azis-Eti Herawati meraih 80.496 suara,  Paslon Bamunas-Effendi Edo meraup 78.511 suara, jumlah suara sah  159.007, jumlah suara tidak sah  9.938 dan jumlah suara sah dan dan tidak sah sebanyak 168.945. Sementara jumlah DPT-nya 230.446, sehingga parmasnya  73,31 persen. Sementara di Kabupaten Cirebon paslon nomor urut 1 H Kalinga-Hj Dian Hernawa Susanti meraih 265.317 suara. Kemudian paslon nomor urut 2, H Sunjaya-H Imron Rosyadi meraup 319.630 suara, paslon nomor urut 3, H Rakhmat-H Yayat Ruhiyat mendapatkan 152.502 suara sedangkan paslon nomor empat, H Mohammad Luthfi-H Nurul Qomar meraih 263.070 suara. Sementara suara tidak sah 56.285. Total suara sah dan tidak sah sebanyak 1.056.804 suara, sedangkan DPT-nya 1.635.993, maka partisipasi masyarakatnya adalah 64,59 persen. Di Kabupaten Majalengka, parmasnya sebesar 78,50 persen (untuk pemilihan bupati). Sementara di Kabupaten Indramayu (untuk pemilihan gubernur) 58,18 persen dan di Kabupaten Kuningan partisipasi pemilih 71,40 persen untuk pemilihan bupati. Sementara parmas pada pemilihan gubernur untuk tingkat provinsi Jawa Barat mencapai 71,6 persen. Dalam konteks Kabupaten Cirebon, angka parmas 64,59 persen secara target (77,5 persen) memang belum terpenuhi. Namun, jika dibandingkan dengan pilkada tahun 2013 maka terjadi peningkatan. Pada pilkada putaran pertama yang dilaksanakan 6 Oktober 2013, partisipasi pemilih 52,23 persen sedangkan di putaran kedua yang digelar pada 29 Desember 2013 partisipasi anjlok menjadi 46,24 persen. Dari 40 kecamatan se-Kabupaten Cirebon, parmas tertinggi pada pilkada tahun ini diraih kecamatan Tengah Tani yakni 72,15 persen. Mengalami kenaikan 13,64 persen dari parmas putaran pertama pilkada tahun 2013 sebesar 58,51 persen. Raihan itu menggeser posisi Kecamatan Suranenggala yang pada Pilkada 2013 meraih parmas teratas yakni  61,73 persen. Sementara pada pilkada tahun ini parmasnya 67,76 persen. Huntington dan Nelson (1994:4) dalam bukunya No Easy Choice Politicall Participation in Developing Countries memaknai partisipasi politik sebagai kegiatan politik rakyat secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara. Huntington dan Nelson juga membedakan partisipasi politik ke dalam dua karakter. Pertama partisipasi yang demokratis dan otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela dan kedua partisipasi yang dimobilisasikan oleh pemerintah. SOSIALISASI PEMILIH BERBASIS 11 KOMPONEN Kenaikan angka parmas di Kabupaten Cirebon sebesar 12,36 persen (pembandingnya hasil pilkada 2013 putaran pertama) bukanlah pekerjaan yang mudah. Butuh kerja keras (tenaga), kerja cerdas (pikiran, intelektual) dan kerja ikhlas (hati, kesabaran) pihak penyelenggara (KPU dan aparatusnya). Berbagai kegiatan sosialisasi baik yang berbasis anggaran maupun sosial digulirkan. Di tingkatan PPK dan PPS ada kreasi seni, jalan sehat yang waktunya digelar secara serentak baik berbasis PPK maupun PPS. Mereka (PPK, PPS) turun ke jalan dan gang-gang sempit untuk woro-woro. Dilanjut dengan merasionalisasikan target pemilih yang berbasis 11 komponen sebagaimana tercantum dalam PKPU No 8 Tahun 2017 pada bab II pasal 4 (keluarga, pemilih pemula,  pemilih muda,  pemilih perempuan, pemilih penyandang disabilitas, pPemilih berkebutuhan khusus, kaum marjinal, komunitas, keagamaan, relawan demokrasi  dan warga internet/netizen). Kemudian ikhtiar di level KPU dengan merekrut agen sosial (agensos) sebanyak dua orang di tiap PPK (ada 80 agensos se-Kabupaten Cirebon).  Menyosialisasikan giat pilkada lewat ragam media dan kegiatan. Kemudian KPU juga menggandeng civil society. Sebagaimana amanat PKPU No 8 Tahun 2017 pada Pasal 3 Sosialisasi Pemilihan, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan: menyebarluaskan informasi mengenai tahapan, jadwal dan program pemilihan, meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban dalam pemilihan dan meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilihan. Belum lagi upaya pemerintah daerah dalam ikutserta meningkatkan partisipasi pemilih. Melalui imbauan agar camat dan kepala desa memobilisasi masyarakat untuk datang TPS. Dalam bahasa Huntington dan Nelson seperti yang ditulis di atas, masuk dalam kategori partisipasi model kedua. Lepas dari itu, dalam konteks ini penulis lebih menekankan tentang niat baik, ikhtiar dan semangat pemda dalam kaitan mengajak masyarakat untuk datang ke TPS. Tidak lebih dari itu! Apresiasi juga untuk partai politik, tim kampanye paslon. Yang telah berjibaku “memasarkan” paslon kepada masyarakat dengan beragam cara dan model. MEMAKNAI PARMAS Lalu, apa makna dari parmas di Kabupaten Cirebon sebesar 64,59 persen itu? ada tiga hal dalam membacanya. Pertama dari sisi pemilih. Pada konteks ini terjadi perubahan cara pandang. Bisa dikatakan kesadaran masyarakat akan menggunakan hak suaranya lebih baik. Sudah melek politik dan mengerti betapa pentingnya pemilihan kepala daerah. Meski ini perlu penelitian dan kajian yang lebih mendalam. Kedua dari sisi penyelenggara (KPU). Sebenarnya tinggi atau rendahnya parmas tidak akan mempengaruhi hasil pilkada. Artinya, siapa pun yang mendapatkan suara terbanyak, meski partisipasinya itu sedikit atau banyak, tetap sah. Menurut komisioner KPU Kabupaten Cirebon, Dr Sopidi dalam diskusi dengan penulis dan PPK menganologikannya dengan istilah fiqh dan akhlak. Secara fiqh, memang sah, walaupun parmasnya rendah atau tinggi. Namun secara akhlak –bagi penyelenggara- akan berbeda. Karena ukuran akhlak itu adalah moralitas, etika. Pantas atau tidak sebagai penyelenggara jika parmasnya itu rendah. Dan, parmas menjadi salah satu tolok ukur kinerja penyelenggara. Ketiga adalah dari sisi politik. Pada ranah ini, kaitannya dengan legitimasi kepala daerah yang terpilih. Semakin tinggi partisipasi, maka semakin baik dukungan masyarakat terhadap bupati atau walikota terpilih. Karena sejatinya demokrasi itu melibatkan rakyat. Lalu, bagaimana dengan parmas Pemilu 2019? Untuk memotretnya, harus berkaca pada hasil Pileg tahun 2014. Di Kabupaten Cirebon, parmas pada Pileg tahun 2014 sebesar 63,54 persen. Ada banyak faktor penyebab naik atau turunnya parmas. Di antaranya ketokohan baik caleg maupun capres yang ikut konstestasi. Ini menjadi ranahnya elit parpol. Bagi penyelenggara, tentu sosialisasi yang lebih aktif dan kreatif khususnya kepada pemilih pemula. Bila ini dilakukan baik oleh parpol maupun penyelenggara secara simultan, penulis berkeyakinan potensi naiknya parmas pada 17 April 2019 (pileg dan pilpres) sangatlah besar. Jika demikian, mengutip pernyataan Emha Ainun Nadjib dalam bukunya berjudul Demokrasi La Roiba Fih; Aku bangga menjadi rakyat Indonesia. Karena semakin mengerti betapa pentingnya pilkada dan pemilu. Semoga. Selamat datang pemilu 2019.  (*) *) Ditulis Apendi, jurnalis yang tinggal di Kecamatan Tengah Tani

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: