Dari Awal Gedung Setda Kota Cirebon Bermasalah, tapi Tak Digubris

Dari Awal Gedung Setda Kota Cirebon Bermasalah, tapi Tak Digubris

CIREBON-Proyek Gedung Sekretariat Daerah (Setda) diduga bermasalah. Tinjauan lapangan tim Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon, membuat Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) dalam sorotan. Apalagi, dalam perjalanannya proyek ini berulangkali direkomendasikan putus kontrak. “Dulu sudah dibilang. Ini bisa jadi bom waktu. Sudah berapa kali disuruh putus kontrak,” ujar Ketua Komisi II DPRD, Ir H Watir Syahriar kepada Radar Cirebon. Turunnya tim kejagung tentu menjadi indikasi kuat ada ”sesuatu” dalam proyek senilai Rp86 miliar itu. Meski terbuka kemungkinan untuk tidak naik status ke penyidikan. Tapi, Watid tetap meminta mantan Kepala DPUPR, Ir H Budi Rahardjo MBA, bertanggung jawab. Dalam posisinya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Budi membuat beberapa keputusan krusial. Rekomendasi dari Komisi II DPRD juga diabaikan. Termasuk saran dari bawahannya, yang meminta dilakukan putus kontrak. “Waktu itu Pak Trisunu (mantan Kepala Bidang Cipta Karya, Trisunu Basuki, red) juga mintanya putus kontrak. Sampai beliau mundur kan,” tukasnya. Komisi II mulai menyorot Gedung Setda, karena time schedule yang amburadul. Saat posisi seharusnya di 20 persen, realisasinya 3 persen. Bahkan saat inspeksi mendadak ke lokasi proyek, basement seperti kolam. Selisih antara time schedule dan realisasi yang terlalu jomplang, jadi pertimbangan dewan menyarankan putus kontrak. Rekomendasi itu tak berlebihan. Dengan gap sampai 7 persen antara rencana dan realisasi, tentu jadi pertanda bahwa ada yang tak beres dengan proyek. Tapi, DPUPR tak bergeming. Malah hearing yang diminta DPRD, seringkali diabaikan. Dengan turunnya kejagung, indikasi penyimpangan juga kian menguat. Apalagi, tim kejagung juga sudah menyampaikan secara terbuka. Bila penyimpangan itu bisa dibuktikan, besar kemungkinan statusnya naik ke penyidikan. “Kalau DPUPR dari awal dengar masukan, nggak bakal begini. Se-level kabid saja, itu buktinya nggak didengar masukannya,” singgungnya. Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini juga menyinggung aspek pengawasan. Rekomendasi hammer test tak pernah dipenuhi. Padahal, tes ini sangat penting. Dari situ bisa diketahui kualitas beton dan konstruksi gedung setda. Sekaligus jadi indikator, gedung delapan lantai tersebut layak digunakan atau tidak. \"Sampai dia (Budi Raharjo) pensiun, nggak ada tuh hammer test,\" ucapnya. Tidak adanya hammer test ini, Watid menduga, karena tidak berani melakukannya. Sejak awal, DPUPR sudah mengetahui hasil pekerjaan tidak memenuhi syarat. Padahal pengujian ini menjadi hal yang prinsipil dalam menguji hasil pekerjan. \"Itu kewajiban loh. Jadi ini Budi Raharjo harus tanggung jawab,” tegasnya. Seperti diketahui, Ketua Tim Intelejen Kejagung Irwan Sinuraya mengakui ada potensi penyimpangan hukum. Hanya saja, sebelum naik ke penyidikan masih perlu didalami lebih jauh. “Kita masih kumpulkan keterangan,” ucapnya. Keterangan ini, dilengkapi tinjauan langsung. Sejumlah pejabat dan juga pihak yang terkait dengan pekerjaan Gedung Setda akan dipanggil satu per satu. Pemeriksaan sendiri dilakukan di Jakarta. Siapa yang akan diperiksa? Irwan menjelaskan, semua yang terlibat. Mulai dari panitia lelang, kontraktor, pejabat DPUPR. (jml)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: