Titik Rawan Gempa di Indonesia Tanpa Mitigasi Bencana?

Titik Rawan Gempa di Indonesia Tanpa Mitigasi Bencana?

Minggu (29/7/2018) pagi Lombok diguncang gempa. Kemudian, pada Minggu (19/8) malam adalah gempa yang baru dan terpisah dari gempa dengan kekuatan yang sama yang terjadi di Lombok, NTB, pada Minggu (5/8). Menilik jumlah korban dan kerugian itu,  Nusa Tenggara sudah diidentifikasi sebagai salah satu wilayah yang memiliki titik rawan gempa yang cukup banyak, mengapa seolah tidak ada mitigasi bencana di kawasan itu? Gempa yang mengguncang NTB Minggu 19 Agustus 2018  itu berkekuatan 6,9 SR. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyatakan, gempa tersebut dipicu oleh naiknya Sesar Flores. https://twitter.com/Sutopo_PN/status/1031347542162694144 Bahkan, Sutopo pernah mengungkapkan kisah Sesar naik Flores yang banyak menimbulkan korban jiwa tapi minim kajian. Begitu juga sumber gempa di Indonesia masih minim penelitian. Kemen Ristekdikti perlu memprioritaskan penelitian gempa. Selama ini kita banyak tergantung pada penelitian asing. Ini bukanlah gempa pertama berkekuatan di atas 6 SR yang dipicu oleh pergerakan Sesar Flores. Sutopo mencatat, ada 6 gempa lain yang pernah terjadi di Lombok dan Sumbawa. Di Lombok pada 30 Mei 1979 terjadi gempa berkekuatan 6,1 SR, gempa yang terjadi pada 20 Oktober 1979 berkekuatan 6,2 SR. Sedangkan di Sumbawa pada 1 Desember 2006 terjadi gempa berkekuatan 6,3 SR, pada 25 November 2007 terjadi gempa berkekuatan 6,5 SR, dan gempa berkekuatan 6,6 SR terjadi pada November 2009. Yang perlu kita ingat kembali, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengungkapkan titik rawan gempa di Indonesia selama tujuh tahun terakhir terus meningkat. Pada 2010 titik rawan gempa hanya sebanyak 81 titik, dan kini menjadi 295 atau meningkat 214 titik selama tujuh tahun. Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian PUPR, Danis H. Sumadilaga, bertambahnya titik rawan gempa seiring peningkatan jumlah sesar aktif di Indonesia. Berdasarkan Peta Gempa Kementerian PUPR, jumlah sesar aktif meningkat menjadi 154 titik rawan. Secara rinci, titik rawan gempa di Sumatera bertambah dari 19 menjadi 55 titik, Sulawesi dari 12 menjadi 49 titik, Maluku-Papua dari 12 menjadi 79 titik, dan Nusa Tenggara dari sebelumnya tidak ada menjadi 75 titik. Adapun, Pulau Jawa mengalami peningkatan dari 10 menjadi 37 titik. Di Pulau Jawa penambahan jumlah sesar aktif yang cukup signifikan terdapat pada jalur utara dari Kota Cirebon - Semarang - Surabaya. Pulau Kalimantan merupakan wilayah yang paling aman dari gempa. Pasalnya, berdasarkan peta gempa Kementerian PUPR 2017, hanya sedikit ditemukan sesar aktif di pulau tersebut. Perlu diketahui, selama 2017 terdeteksi 8693 gempa atau terjadi 718 gempa per bulan. Gempa yang merusak terjadi sebanyak 19 kali. Gempa dengan magnitudo lebih dari 5 Moment magnitude (Mw) sebanyak 208 kali dan gempa dirasakan sebanyak 573 kali. Dengan data itu seharusnya pemerintah memastikan kualitas bangunan di kawasan rawan gempa. Sangat disayangkan, gempa Lombok kali ini masih menunjukkan bahwa masih cukup banyak bangunan di daerah rawan bencana yang belum memenuhi standar tahan gempa. Padahal sudah ada aturan tentang bangunan tahan gempa. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Nomor 05/PRT/M/2016 Tentang Izin Mendirikan Bangunan Gedung memuat lampiran tentang persyaratan bangunan tahan gempa. Baca: Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Nomor 05 PRT M 2016 Pada praktiknya ketentuan itu tidak ditegakkan di lapangan. Izin Mendirikan Bangunan seringkali diberikan tanpa mempertimbangkan ketentuan tentang bangunan tahan gempa. Pemerintah Daerah memiliki peran atas terabaikannya ketentuan tersebut. Mitigasi bencana, dalam konteks menyiapkan bangunan tahan gempa, masih sangat minim. Hal ini harus menjadi perhatian yang serius mengingat bahwa sebagian besar wilayah di negeri ini memang berada di titik rawan gempa. Benar bahwa pemenuhan aturan tentang bangunan tahan gempa adalah hal yang kompleks. Di tingkat rumah hunian biasa, hal tersebut melibatkan kebutuhan pengetahuan dan keterampilan tukang bangunan mengenai konstruksi tahan gempa, selain juga sangat tergantung kepada kemampuan pemilik bangunan hunian. Untuk membongkar bangunan yang ada agar sesuai dengan konstruksi tahan gempa juga bukan perkara yang gampang disetujui oleh pemilik bangunan. Meski begitu, hal-hal tersebut seharusnya tidak membuat kita abai terhadap pentingnya mitigasi bencana itu. Jika tidak bisa dilakukan serentak, langkah-langkah mitigasi itu sudah seharusnya direncanakan bertahap dan terukur. “Sedia payung sebelum hujan”, karena kita tidak ingin bencana membawa korban lebih banyak lagi.***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: