Sedia Payung sebelum Kepanasan

Sedia Payung sebelum Kepanasan

PAYUNG dan semprotan air berguna sekali di Mina. Di tempat jutaan jamaah haji bermalam dan melempar jumrah. Payung dan semprotan sangat membantu jamaah melawan panas yang sangat menyengat. Dua benda itu sejak di Indonesia diimbau untuk dibawa. Jarak pemondokan yang saya tempati ke tempat lempar jumrah tidak terlalu jauh. Sekitar 600 meter. Tapi ketika sore, menjelang Magrib saja, udaranya masih terasa sangat panas. Walau matahari sudah mulai redup. Apalagi jika siang bolong. Tak terbayang panasnya. Saya pun membayangkan jamaah haji reguler. Jarak antara tenda pemondokan ke lokasi jumrah bisa mencapai 4 Km, bahkan lebih. Panasnya seperti apa? Saya pun ingin turut merasakannya. Pagi-pagi saya janjian dengan bos Salam Tour, Dede Muharam untuk menengok jamaah reguler dari Kota Cirebon. Kebetulan juga mengajak mantan Direktur RSUD Gunung Jati dokter Heru Purwanto. Selain silaturahmi, juga ingin turut merasakan teman-teman haji regular berteman dengan panas. Pemondokan kami bertiga di 114. Sementara pemondokan jamaah Kota Cirebon di 65. Melihat jarak dari aplikasi google map antara dua pemondokan itu sekitar 4 km. Kami berangkat. Sekitar pukul 9 pagi. Matahari sudah mulai menyengat. Saya buka aplikasi di handphone, suhu sudah 40 derajat. “Masih jam segini saja sudah menyengat, ya ustad,” tanya dokter Heru. “Bismillah Pak Dokter! Kita silaturahmi,” jawab Dede Muharam. Ya.. benar-benar menyengat. Tampak jamaah yang pergi atau pulang melempar jumrah sebagian pakai payung. Ada juga yang tidak. Sebagian lagi hanya menutup dengan kain atau topi. Semuanya berjuang menyiasati panas. Jarak 4 km yang di Indonesia sangat biasa, namun kualahan ketika di Mina. Setidaknya kami tiga kali berhenti. Berteduh di lorong terowongan untuk minum bekal air mineral yang kami bawa. Kebetulan kami memang tidak membawa payung dan semprotan. Namun di jalanan banyak relawan yang menyemprotkan air ke wajah jamaah yang lewat. Ada yang semprotan kecil. Ada juga yang besar seperti semprotan hama yang dipakai petani kita. Alhamdulillah. Kami bisa bertemu dengan beberapa jamaah asal Kota Cirebon. Termasuk bisa silaturahmi dengan calon walikota Nashrudin Azis, yang berbaur dengan jamaah. Tak lama kami bersilaturahmi. Rencananya akan lanjut ke pemondokan jamaah Kabupaten Cirebon. Namun batal karena sudah siang. Selain harus kembali ke maktab untuk Salat Duhur, juga udara semakin panas di siang itu. Akhirnya saya pun merasakan begitu berat perjuangan para jamaah reguler di Mina. Selain jauh menuju ke tempat lempar jumrah, juga melawan panas. Setiap hari harus sekali pulang balik. Jika jamaah Nafar awal hanya tiga kali. Tapi kalau yang datar Sani atau akhir berarti 4 kali. Disebut Nafar Awal karena jamaah lebih awal meninggalkan Mina kembali ke Makkah. Dan hanya melontar sebanyak 3 hari. Total kerikil yang dilontar jamaah nafar awal adalah 49 butir. Nafar Sani atau Nafar Akhir apabila Jamaah melontar Jumrah selama 4  hari pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Zulhijah. Jumlah batu yang dilontar sebanyak 70 butir. Disebut Nafar Sani/AKhir karena jamaah haji bermalam di Mina 3 malam. Meninggalkan Mina pada tanggal 13 Zulhijah. Lumayan kalau mendapatkan jadwal melempar di malam hari. Seperti jadwal hari kedua jamaah Kota Cirebon pukul 02.00 pagi. Tentu lebih nyaman. Soal lempar jumrah jamaah tidak bisa seenaknya. Jadwal sudah ditentukan oleh panitia haji setempat. Bisa pagi, sore, petang atau malam hari. Jadwal itu untuk menghindari penumpukan jamaah yang bisa berakibat fatal. Seperti tragedi Mina beberapa tahun yang lalu. Dulu juga bisa disiasati. Sekali jalan dua lemparan. Biasanya berangkat malam. Sebelum tengah malam melempar yang pertama. Lewat tengah malam bahkan ada yang sampai habis subuh, melempar kedua. Setelah melempar pertama jamaah menunggu di halaman. Lesehan dan dlosor sambil tidur seenaknya. Alasnya seadanya. Sebagian besar sajadah tipis. Namun sekarang agak sulit. Hanya yang beruntung saja yang bisa. Petugas selalu melakukan sweeping di kerumunan jamaah di halaman yang melebar sampai ke  pinggir jalan. Bunyi sirine tak pernah henti. Bukan ambulans. Tapi itu polisi sedang membubarkan kerumunan yang mengganggu jamaah yang akan atau pulang melontar. Yang beruntung biasanya ketika tengah malam jamaah melakukan salat malam. Di halaman dan di jalanan. Petugas agak sulit membubarkan jamaah yang lagi salat. Tapi tidak semua bisa beruntung dengan cara itu. Lihat ada kerumunan, sebelum salat dimulai sudah dibubarkan petugas keamanan Mina. Orang yang kelelahan pun tidak boleh berhenti sembarangan. Pasti diusir dan disuruh jalan. Apalagi ada imbauan larangan dari Kemenag agar jamaah Indonesia tidak melakukan lontar jumrah pada pukul 06.00-10.00. Jam-jam itu merupakan waktu paling padat. Karena jamaah ingin mengikuti sunah Rasulullah, melontar setelah Salat Duha. Dengan begitu, kesempatan jamaah kita melontar pada jam-jam sejuk sudah berkurang. Tinggal siang bolong atau malam hari. Dengan ketatnya aturan di Mina, antisipasi dan persiapan jamaah sangat dibutuhkan. Memang imbauan untuk membawa payung dan semprotan air itu sangat tepat. Sebenarnya banyak yang membawa payung. Tapi, terutama pria, enggan memakainya. Selain tidak biasa, juga banyak yang malu. Padahal tidak perlu malu. Kondisi yang mengharuskan berpayung. Ketika kepanasan baru merasakan indahnya ketemu payung. Walau kalau ada angin sedikit saja, muka masih terasa panas. Jika di Indonesia ada ungkapan, “sedia payung sebelum hujan\". Di Mina yang cocok adalah realita “sedia payung sebelum kepanasan”. (*/bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: