30 Prajurit TNI Diamankan
Terlibat sebagai Otak Penyerangan Mapolres OKU JAKARTA - Tensi tinggi pascaperistiwa penyerangan terhadap Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) Kamis (7/3) lalu mulai menunjukkan penurunan. Meski belum bisa pulih di lapangan, namun di tingkat pimpinan ketegangan sudah mulai menurun. Terutama, setelah Mabes TNI mulai memproses kasus memalukan itu. Hingga kemarin siang, tim investigasi yang dikirim oleh Mabes TNI AD sudah memastikan sedikitnya 30 prajurit Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) 15/76 terlibat langsung dalam penyerangan Mapolres OKU. Mereka langsung dikirim ke Pomdam II Sriwijaya di Palembang untuk diinterogasi lebih lanjut. Kadispen TNI AD Brigjen TNI Rukman Ahmad menyatakan, pihaknya telah menugaskan tim yang terdiri dari Spamad Mabesad, Pusintelad, Sinteldam II/Sriwijaya, Deninteldam II/Sriwijaya dan Pomdam II/Sriwijaya. Tim itu ditugasi menginterogasi seluruh anggota yang terlibat dalam penyerangan Mapolres OKU. \"Hasil dari interogasi ditetapkan 30 prajurit dikirim melalui jalan darat dengan menggunakan dua buah truk,\" ujarnya kemarin. Rukman menyatakan, Pangdam II Sriwijaya sudah memastikan jika permasalahan yang terjadi adalah masalah personal. Sama sekali tidak terkait dengan institusi TNI dan Polri. Terbukti, saat kejadian tersebut hadir juga sejumlah anggota Kodim setempat dan Subdenpom. Mereka berupaya menghalau para prajurit yang menyerang mapolres. Namun, karena kalah jumlah, mereka tetap tidak bisa menghentikan aksi tersebut. Akhirnya, pihak militer hanya bisa mengamankan senjata dan tahanan ke Koramil setempat. Kemarin juga diselenggarakan pertemuan antara Pangdam, tim investigasi, dan pihak Polri untuk membahas proses hukum selanjutnya. Pascaperistiwa tersebut, Mapolres OKU dijaga anggota Kodim 0403/Baturaja. Rukman menambahkan, total korban luka mencapai 10 orang. Terdiri dari lima anggota Polri, satu PNS Polri, dan empat angota TNI. Sementara itu, Wakapolri Komjen Nanan Soekarna meminta publik tidak berpersepsi terlalu jauh soal kekacauan yang terjadi. \"Tidak ada rebutan rezeki seperti yang mencuat saat ini,\" ujarnya. Nanan juga mengapresiasi langkah cepat Kasad dan pernyataannya yang menjanjikan bakal menghukum pelaku. \"Mari kita buktikan,\" lanjutnya. Menurut Nanan, anggotanya saat itu sudah bertindak sesuai aturan. Yakni, menegur pengendara berpakaian sipil saat melanggar lalu lintas. Tapi, pengendara yang belakangan diketahui anggota Yon Armed 15 itu malah kabur. Terjadi kejar-kejaran yang berujung duel dan penembakan. Penembakan itulah yang menurut Nanan salah, sehingga Briptu Wijaya harus disel pasca melaksanakan tugasnya. Nanan mengatakan, pihaknya sangat senang dengan reaksi cepat Kasad untuk mencari siapa yang bertanggung jawab dalam serangan itu. Yang terpenting bagi Polri adalah mengembalikan situasi menjadi normal kembali. Jenderal bintang tiga itu menuturkan, berdasarkan protap, sebenarnya saat kerusuhan terjadi anggota Polres OKU boleh mempertahankan diri. Dalam hal ini, membalas serangan yang dilancarkan anggota Yon Armed 15. Sebab, Mapolres merupakan aset negara. \"Siapa pun yang menyerang markas komando ya ditembak kalau perlu. Tapi itu akan menambah masalah,\" lanjutnya. Terkait dengan isu renumerasi, Nanan menjelaskan jika renumerasi Polri sebenarnya justru lebih rendah dari TNI. \"Selisihnya sekitar Rp500 ribu sampai Rp600 ribu,\" tambahnya. Karena, itu, salah besar jika peristiwa tersebut didasari rasa iri karena persoalan renumerasi. Sementara, Ketua Komisi I DPR RI, Drs H Mahfudz Siddiq MSi mendesak pemerintah untuk segera memperbaiki kesejahteraan prajurit TNI. Ini perlu dilakukan menyusul bentrokan yang terjadi di Ogan Komering Ulu (OKU) Sumsel dengan pembakaran mapolres. Pemerintah, kata Mahfudz, harus segera mengambil kebijakan terobosan untuk memperbaiki kesejahteraan prajurit TNI. Hal ini mendesak, karena berbagai bentrok yang melibatkan oknum prajurit TNI dengan oknum aparat polisi juga dilatari oleh akumulasi kesenjangan dan kecemburuan sosial antar mereka. “Sudah saatnya pemerintah memperbaiki kesejahteraan Prajurit TNI,” desak politisi PKS itu. Sejak era reformasi, dengan ditandai pemisahan institusi Polri dan TNI dari ABRI, perhatian negara lebih besar terhadap Polri jika dibandingkan dengan TNI. Ini tercermin dari minimnya anggaran bagi TNI, misalnya alutsista TNI sudah usang dan tidak memadai lagi. Begitupun dari sisi sarana-prasarana, semisal kendaraan dan perumahan dinas yang sangat minim dan lamban proses peremajaannya. Aspek kesejahteraan lain, sambung anggota DPR RI dapil Cirebon Indramayu itu, justru yang memprihatinkan adalah penghasilan prajurit dari gaji dan tunjangan yang pas-pasan. Sementara, salah satu tuntutan reformasi adalah TNI harus melepas semua bisnisnya. Pada sisi berbeda, Polri justru dipersepsi sebaliknya. Sarana-prasarana serta penghasilannya jauh lebih baik. “Kita bisa dengan mudah membandingkannya di lapangan. Kondisi ini yang salah satunya secara akumulatif membentuk persepsi kesenjangan dan kecemburuan antara TNI dan Polri,” tandasnya. Bahkan Komisi I DPR RI pernah mengusulkan kepada Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI untuk menyusun renstra pemenuhan kesejahteraan TNI, meliputi sarana-prasarana, fasilitas dan standar penghasilan prajurit. \"Tapi ini baru akan selesai satu dari sekian variabel yang melatari kasus-kasus bentrok antara oknum prajurit TNI dengan oknum aparat polisi. Bahkan masih ada PR lainnya,\" ucapnya. Di sisi lain, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa tindakan penyerangan dan pembakaran tersebut sungguh merupakan pelanggaran hukum berat. \"Apa pun latar belakang dan alasan pemicunya,\" kata Lukman. Dia menyatakan, ada beberapa hal yang secepatnya harus dilakukan Panglima TNI dalam waktu dekat. Pimpinan tertinggi TNI harus memroses para pelaku dan memberi sanksi tegas. Menurut dia, proses itu sudah harus selesai selambat-lambatnya tiga hari. \"Minta maaf ke masyarakat luas juga atas tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan anggota TNI,\" tegas politisi asal Partai Persatuan Pembangunan itu. Di sisi lain, kata dia, panglima TNI bersama kapolri juga harus secara bersama-sama menyatakan dan memerintahkan kepada segenap jajaran kedua institusi dari level atas hingga di lapangan untuk mampu mengendalikan diri. Hal itu agar tidak terulang kejadian serupa seperti yang terjadi terakhir. Menurut Lukman, langkah-langkah tersebut penting dilakukan petinggi TNI dan polri secara bersama-sama sebagai bukti keseriusan mengatasi masalah. \"Juga agar luka perasaan masyarakat luas bisa terobati dan mampu lagi mengembalikan kepercaraan publik,\" pungkasnya. Di bagian lain, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menyatakan bahwa pihaknya telah melaporkan hasil perkembangan investigasi kepada Wapres Boediono. Dari laporan tersebut, Agus mengakui jika tim investigasi gabungan Polri dan TNI telah menemukan indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan sejumlah anggota TNI dalam kasus penyerbuan dan pembakaran kantor Mapolres tersebut. \"Kita laporkan bahwa tim investigasi telah bekerja, bersama-sama TNI dan Polri. Sudah terus bekerja, tapi memang sudah ada indikasi beberapa anggota TNI yang melakukan pelanggaran,\" jelasnya ditemui di Istana Wapres, kemarin. Meski begitu, Agus menekankan, hasil investigasi tersebut belum final. Pihaknya masih menunggu perkembangan lebih lanjut dari tim investigasi. \"Tim investigasi terus bekerja, jadi perkembangannya masih kita tunggu,\" tegasnya. Agus pun memastikan pihaknya tidak segan menindak tegas anggota TNI yang terbukti melakukan pelanggaran hukum. \"Apa pun alasannya (motif penyerbuan, red), tindakan perusakan ini tidak bisa dibenarkan. Sanksinya nanti di pengadilan militer,\" tambahnya. Menyoal pernyataan Menkopolhukam Djoko Suyanto yang meminta pertanggungjawaban pada pihaknya dan Kapolri, terkait kerusakan gedung Mapolres, Agus menyatakan siap membangun kembali fasilitas negara tersebut. Dia menjanjikan, begitu proses penyelidikan usai, pihaknya dan juga Polri akan bersama-sama membangun gedung Mapolres tersebut. \"Nanti kalau police line sudah dicabut, tim Polri dan TNI bangun kembali. Bersama-sama dengan gubernur juga akan ikut nanti,\" imbuh dia. TNI-POLRI HARUS DI BAWAH KONTROL DEMOKRATIK Pengamat militer dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Rizal Darmaputra mengatakan, konflik TNI dan Polri sebenarnya sudah berakar sejak lama, terutama sejak ABRI bubar dan Polri terpisah dengan militer. Masing-masing dari mereka memiliki hubungan langsung dengan presiden. Kesalahan mendasar TNI maupun Polri, adalah tidak menempatkan organisasinya di bawah kontrol demokratik. Hal itu berbeda dengan sejumlah negara maju yang perangkat keamanannya sudah di bawah kontrol demokratik. Di beberapa negara maju, lanjutnya, militer berada di bawah Menteri Pertahanan. Atau seperti di Jepang, polisi berada di bawah kompolnas yang memiliki wewenang menindak bahkan memberhentikan anggota kepolisian. Kompolnas ada di setiap wilayah di Jepang. Tidak seperti Indonesia, di mana TNI dan Polri setara menteri. Konflik berawal dari \"pelemahan\" terhadap institusi TNI, khususnya AD sejak era reformasi bergulir. \"Pada masa orde baru, AD menjadi aktor utama dalam menjaga pertahanan dan keamanan wilayah. Lalu tiba-tiba mereka harus berbagi dengan Polri,\" ujarnya. Di level pimpinan mungkin tidak akan terasa. Namun, di level bawah sudah ada rivalitas yang menjurus kepada konflik. Cara-cara yang ditempuh kedua pimpinan saat ini, dengan mengirim Propam, memeriksa, tidak efektif. Langkah tersebut hanya akan mendinginkan suasana di daerah itu saja. \"Di daerah lain tidak ada jaminan,\" lanjutnya. Menurut dia, untuk jangka pendek, bisa dengan mengirim tim investigasi dan menghukum para pelaku. Tentunya proses hukum juga harus transparan. Dia mengapresiasi usulan agar TNI dan Polri membentuk tim investigasi bersama. Di lain pihak, polisi juga harus sadar diri dan membenahi internalnya. Bukti jika internalnya belum diperbaiki adalah pemicu serangan yang berupa aksi penembakan satu bulan sebelumnya. Polisi tidak bisa meyakinkan tentara terkait kepastian hukum bagi anggotanya yang menembak tentara. Rizal mengatakan, konflik yang terjadi kali ini seharusnya menjadi momentum perubahan. RUU Perbantuan TNI Polri harus segera disahkan. \"Seharusnya sudah dari dulu, dan sebenarnya saya tidak yakin tahun ini bisa selesai karena sudah masuk tahun politik,\" ucapnya. Momentum kedua adalah revisi Undang-Undang Polri maupun TNI. Kedua institusi ini harus berada di bawah kontrol demokratik. Harus ada pihak ketiga yang tidak hanya mengontrol, namun memiliki wewenang untuk bertindak. Seluruhnya bergantung kepada goodwill pemerintah sebagai pemegang kebijakan. \"Selama belum ada perubahan, konflik ini tidak akan selesai, karena akar permasalahannya sudah bersifat struktural,\" tandasnya. (jpnn/abd)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: