Menjaga Marwah Konstitusi
PROSES peradilan di Mahkamah Konstitusi memiliki kekhususan tersendiri dan berbeda dengan proses peradilan lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari, salah satunya, hukum materiil yang hendak ditegakkan di Mahkamah Konstitusi tidak merujuk pada undang-undang atau kitab undang-undang tertentu, melainkan konstitusi sebagai hukum dasar sistem hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, peradilan di Mahkamah Konstitusi seringkali disebut sebagai constitutional court atau Pengadilan Konstitusi. Dari sisi keputusan hakim, putusan pada tingkatan Mahkamah Konstitusi secara langsung bersifat final and binding. Final secara hukum artinya putusannya langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak saat itu juga. Sementara binding, atau mengikat, definisinya merujuk pada pengertian bahwa putusan itu tidak hanya mengikat para pihak (inter partes) tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia (erga omnes). Konsekuensi hukum dari kekhusuan dan keputusan itu maka tidak adanya upaya hukum yang dapat ditempuh (lagi) semenjak keputusan itu dibacakan. Para pihak harus segera melaksanakan dan menindaklanjuti keputusan yang dikeluarkan oleh para Yang Mulia, Hakim Mahkamah Konstitusi. TIGA KOMPONEN Di dalam tata kenegaraan, utamanya negara yang menganut sistem trias politica, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu simbol lembaga tertinggi negara. Mahkamah Konstitusi, bersama dengan Mahkamah Agung, sesuai amanat Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 24 masuk dalam komponen yudikatif. Dua lainnya, yakni lembaga eksekutif yang meliputi presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya dan lembaga legislatif meliputi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPD, MPR. Bagi warga negara yang baik, yang taat pada hukum dan mekanisme penyelenggaraan negara, menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi adalah kewajiban. Bukan mentaati karena takut pada kemungkinan contempt of court (penghinaan peradilan), tetapi karena memang produk putusan dari Mahkamah Konstitusi memiliki nilai yang perlu dijaga kewibawaannya. AKIBAT HUKUM Pada setiap putusannya, Mahkamah Konstitusi selalu memberikan tenggat waktu pelaksanaan putusan. Tenggat waktunya bervarisi tergantung dari pertimbangan majelis dan pokok perkara. Pada konteks putusan nomor 8/PHP.KOT-XVI/2018, majelis memberi waktu 30 (tiga puluh) hari. Pemberian waktu tersebut tentu memiliki akibat hukum apabila tidak dilaksanakan. Putusan yang eksekutorial itu bisa dilihat dari cara pandang logis (logische beschouwing) dan cara pandang juridis (jurisdische beschouwing). Secara logis, apabila tidak dilaksanakan maka pihak yang tidak melaksanakan putusan itu bisa dikenai catatan sosial oleh masyarakat. Sementara menurut juridis, tidak dilaksanakannya putusan itu bisa dikategorikan sebagai tidak menuruti perintah undang-undang yang dapat diancam pidana dengan Pasal Pasal 216 ayat (1) KUHP. Pada konteks ini maka penyelengara, baik Bawaslu Kota Cirebon maupun KPU Kota Cirebon, harus menjalankan dan mensukseskan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 TPS dengan tertib dan baik. PSU ini bukan hal baru, karena sebelumnya Kabupaten Sampang telah lebih dulu memperoleh perintah putusan itu, sehingga tidak perlu dibesarkan dengan anggapan telah terjadi kecurangan besar ataupun konspirasi lainnya yang tidak dituangkan dalam putusan. Yang justeru memperkeruh keadaan. Mutatis mutandis, secara semangat, PSU ini lebih kepada soal keadilan Pemilu. PARA KONTESTASI DAN SIMPATISAN Hal yang kadang sulit diprediksi justeru ditingkatan peserta dan simpatisan dari para kontestan. Terlebih jika kita mencermati karakteristik dari Pemilu dalam era demokrasi ini, Pemilu yang basis utama keikutsertaannya adalah “harus menang”. Sehingga mereka lupa, bahwa melakukan segala cara untuk menang ada konsekuensi pidananya. Konsekuensi pidana itu terdiri dari mulai tindak pidana karena pemalsuan data, coblos dua kali, hingga menggagalkan pleno perhitungan suata, yang semuanya diatur dalam Pasal 177 hingga Pasal 178H UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Tindak pidana itu semuanya bisa diurus oleh Bawaslu melalui Sentra Gakumdu. Cara terbaik agar terhindar dari kemungkinan itu adalah menerima setiap keputusan dengan lapang dada dan bijaksana. Berjuang dengan cara-cara yang baik ada terjadi suatu hal yang berkelanjutan, bahwa sesuatu yang dimulai dengan baik maka selamanya akan baik. Lebih jauh dari itu, mengawal serta melakukan keputusan Makhamah Konstitusi dengan baik dan benar adalah tugas yang mulia. Keputusan Makhamah Konstitusi terkait erat dengan konstitusi, yang artinya simbol negara itu sendiri. Maka, sebagai pejabat berwenang dan masyakat sipil yang baik, kesuksesan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi nanti adalah kesuksesan menjaga marwah konstitusi, yang kalau boleh disikapi secara kesatria, itu nilainya lebih penting dari sekedar menang atau kalah. (*) *Penulis adalah Bakhrul Amal, pemerhati sosial
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: