Petani Bawang Merah di Indramayu Rugi Dua Kali

Petani Bawang Merah di Indramayu Rugi Dua Kali

INDRAMAYU – Nasib para petani bawang merah di wilayah pantura Kabupaten Indramayu bagian barat (Inbar) lagi di ujung tanduk. Diam merugi, jalan terus tetap rugi. Gara-garanya, hasil kerja keras mereka menanam bawang merah tak menuai hasil ideal. Karena jangankan meraih untung, balik modal saja terasa ngos-ngosan. Itu lantaran harga bawang merah kali ini mengalami penurunan sangat drastis. Dari Rp 15 ribu menjadi Rp 4.000 sekilo di tingkat petani. Untuk kualitas super yang siung bawangnya besar-besar hanya dihargai Rp 7.000/kg. Jauh dari harapan dan tidak sebanding dengan modal sekaligus biaya produksi yang sudah dikeluarkan petani. “Harga bawang merah sekarang memble. Bagi kami ini sangat menyakitkan,” kata Mardi, petani bawang merah asal, Kecamatan Sukra, Rabu (20/9). Diakuinya, produksi melimpah yang membuat harganya anjlok. Sementara serapan pasar stagnan bahkan cenderung rendah. Sampai-sampai kiriman bawang merah ke Pasar Induk Kramat Jati nyaris ditolak. Pedagang disana tak sanggup menampung pasokan bawang yang lagi meluber. “Kecuali harganya Rp 7.000 sekilo mereka bisa terima. Tapi bagi kami, harga segitu hanya cukup buat sewa truk sama makan di jalan. Untung tak dapat, rugi iya. Tapi mau bagaimana lagi,” keluhnya. Menurutnya, kerugian yang diderita masing-masing petani bawang merah terbilang besar. Itu karena biaya tanam yang sangat besar mencapai Rp 40-Rp 50 juta per bau. Sementara hasil panen bawang berkisar setengah dari modal. Besarnya biaya modal diperuntukan membeli bibit, obat-obatan pertanian, upah kerja serta pupuk yang tidak disubsidi oleh pemerintah. “Yang terbesar itu membeli bibit, obat-obatan, biaya panen sama transportasi. Idealnya harga bawang merah ditingkat petani itu minimal Rp 10 ribu sekilo. Kalau dibawah itu, hanya bisa balik modal atau malah rugi besar,” ungkap Mardi. Senada disampaikan Tato, petani bawang merah asal Desa Limpas, Kecamatan Patrol. Anjloknya harga bawang, membuat dia dan petani lainnya menjerit. Ditambah lagi, mayoritas bawang merah yang ditanam petani di desanya terserang hama ulat yang membuat produksi merosot. Normalnya 8 ton perbau, kini menjadi 3-4 ton perbau. “Mending kalau hasil panen melimpah, bisa ketutup. Lah ini, sudah panen turun harga memble. Hancur kita,” ujarnya. Dia juga tak habis pikir dengan harga bawang merah yang sejak dua tahun terakhir selalu dibawah standar. Padahal sebelum tahun 2016, harganya relatif stabil bahkan pernah melonjak hingga di atas Rp 25 ribu per kilogram. Bayangan meraih untung berlipat itulah yang membuat petani bawang merah tetap bertahan. “Tapi sekarang kayaknya sudah mulai pada trauma. Mungkin nanti masih tetap tanam, tapi luasan lahan diperkecil. Tadinya satu bau, dikurangi seperempat saja. Untung kecil lebih baik daripada nanti rugi besar kayak sekarang ini,” tandasnya. (kho)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: