Kota-Kota Dekat Pantai Harus Siaga Bencana

Kota-Kota Dekat Pantai Harus Siaga Bencana

GEMPA yang mengguncang Sulawesi Tengah kemarin (28/9), diperkirakan merupakan kepanjangan dari siklus gempa yang terjadi puluhan tahun lalu di jalur sesar Palu Karo. Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG Daryono mengungkapkan bahwa gempa besar terakhir terjadi pada 1909. “Pada saat itu magnitudo gempa tercatat 7 skala Richter,” kata Daryono, kemarin. Daryono menjelaskan, jika dilihat dari episentrumnya, gempa itu tidak terjadi di jalur utama sesar Palu Karo. Namun, sebut dia, pergerakan gempanya bergesekan mendatar ke arah kiri atau sinistral strike-slip. Karena itu, hampir bisa dipastikan, gempa kemarin adalah bagian dari pergerakan sesar Palu Karo. Berdasar tinjauan paleoseismologi, kata Daryono, gempa kemarin sangat mungkin merupakan percabangan dari gempa besar yang terjadi sebelumnya. “Selain itu, melihat ukuran sesarnya yang tidak terlalu besar, boleh dibilang sebagai terusan (splay) dari zona sesar Palu Karo,” jelasnya. Daryono memastikan bahwa gempa tersebut tidak berkaitan dengan gempa-gempa sebelumnya, termasuk aktivitas sesar naik Flores. Wilayah sepanjang Palu Karo memang terkenal sering terjadi gempa, tapi dengan magnitudo yang relatif kecil. Kota-kota yang dekat dengan pantai perlu segera menyusun rencana tata ruang berbasis penanggulangan bencana. Utamanya bencana geologis seperti gempa bumi dan tsunami. Ada beberapa infrastruktur yang wajib dimiliki kota ataupun permukiman yang siap menghadapi bencana. Sekretaris Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR Rina Agustin menjelaskan, prinsip pertama adalah bangunan-bangunan di kota tersebut dibangun dengan struktur tahan gempa. Kemudian, ada dukungan infrastruktur untuk antisipasi kebencanaan. Misalnya, di pantai ada tempat penyelamatan dan evakuasi sementara. Kemudian, sebuah kota harus memiliki selter-selter yang disiapkan sebelumnya. “Jadi, ketika terjadi bencana, kita sudah langsung punya tempat pengungsian yang ada airnya, ada listriknya, dan ada WC-nya,” kata dia kemarin. Sistem distribusi aliran listrik dan air juga harus diperhatikan. Saat terjadi gempa NTB, semua saluran listrik padam, jaringan distribusi air pun lumpuh. Di luar negeri, ungkap Rina, selalu dibangun dua macam jaringan air bersih. Satu utama, satu cadangan. “Saat kondisi bencana yang utama rusak, yang satunya tetap berfungsi,” ucapnya. Hal-hal semacam itu, tutur Rina, harus sudah masuk perencanaan tata ruang kota maupun wilayah. Namun, kebijakan anggaran yang ada saat ini agak menyulitkan. Kementerian PUPR baru bisa membangun infrastruktur yang bisa langsung segera digunakan. Bukan yang sewaktu-waktu siap digunakan. “Kalau dibangun terus nggak terpakai kan kesannya gimana. Padahal, bencana bisa terjadi kapan saja,” ujarnya. (tau)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: