Omset Pengusaha Kecil Empal Gentong di Plered Turun Drastis

Omset Pengusaha Kecil Empal Gentong di Plered Turun Drastis

CIREBON-Hidup segan mati tak mau. Mungkin itulah pepatah yang cocok menggambarkan kondisi para pelapak empal gentong di sepanjang jalur Kedawung-Plered. Sejak beberapa tahun terakhir, kondisi mereka kian memprihatinkan. Mereka lebih banyak nganggur ketimbang melayani pembeli. Didi hanya bisa duduk termenung di kursi pengunjung. Sesekali ia menatapi hilir mudik kendaraan yang melintas di depan warung empal gentong miliknya Di Jalan Raya Kedawung. Namanya Empal Gentong Pedesan Entog Ibu Ayu. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain menunggu dan menunggu. Ketika Radar Cirebon mengunjungi tempat usahanya, ia tampak begitu lesu. Wajar saja, sejak pagi menunggu. Hingga siang menjelang, tak satupun pengunjung datang ke warungnya yang dibuka sejak 21 tahun lalu. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 11.45 siang. Didi adalah salah satu dari sekian banyak pemilik usaha kecil empal gentong yang masih bertahan hingga kini. Namun kondisi yang sulit tak membuatnya patah arang. Ia masih memiliki keyakinan. Suatu saat kondisi akan berubah. Usahanya kembali bergairah. Meskipun entah kapan. “Kalau saya sih pasrah, yang penting masih bisa untuk belanja dan membiayai anak sekolah,” ujarnya. Ia masih membayangkan, usaha yang ia rintis bersama sang istri sejak tahun 1997 itu bisa kembali seperti dulu. Sekitar tahun 2000-an. Saat pengunjung masih ramai, saat ia hampir tidak punya waktu untuk beristirahat. Dan, saat mencari uang masih mudah. Kala itu, ia masih mempekerjakan dua orang karyawan untuk membantu melayani banyaknya tamu. “Sekarang boro-boro karyawan, buat belanja sendiri aja nggak ada. Sulit sekarang mah. Pedagang-pedagang kecil lain juga mengeluh semua,” imbuh ayah empat anak tersebut. Di masa jayanya dulu, ia bahkan bisa menghabiskan 15 hingga 20 kilogram daging sapi dalam sehari. Kini 3 kilogram saja lebih sering tidak habis. “Dulu omset bisa sampai Rp2 juta perhari, sekarang cuma Rp200 ribu. Mentok-mentok Rp300 ribu,” ujarnya. Zaman berubah, Didi mengetahui betul perbedaannya. Dulu, sepinya pengunjung hanya terjadi ketika masa-masa akhir bulan. Tanggal muda, ia masih bisa mengharapkan kedatangan tamu. Namun kini, tanggal muda sekalipun tidak mempengaruhi kesibukannya di dapur. “Kalau dulu, hari Sabtu-Minggu juga ya ramie. Sekarang mah sama saja,” tuturnya. Dalam kondisi sulit, ada yang bertahan, ada pula yang tumbang. Sama halnya dengan usaha kuliner legendaris ini. Tak jauh dari tempat Didi, terdapat usaha empal gentong yang tidak sanggup bertahan. Dan akhirnya tutup dua bulan lalu. Alasannya, biaya operasional, tidak sebanding dengan pendapatan. Terlebih biaya sewa kios di lokasi tersebut yang cukup tinggi, sekitar Rp50 juta setahun.  “Nggak kuat, akhirnya tutup, kalau saya untungnya tempat milik sendiri,” katanya. Rupanya, Didi tidak sendirian. Kondisi serupa juga dialami H Soleh. Sudah 10 tahun menggeluti usaha kuliner khas Kota Udang, ia berusaha bertahan. Sepi sudah pasti, ia menganggap hal itu sebagai risiko menjadi pedagang. Kadang untung, tidak jarang pas-pasan. Empal Gentong H Khasan miliknya yang berada di Jalan Raya Kedawung Kabupaten Cirebon, diakuinya mulai sepi pengunjung. Utamanya sejak bulan Juli lalu. “Alhamdulillah sekarang lebih banyak tidurnya,” kelakarnya lalu tertawa getir. Seingatnya, setelah Hari Raya Idul Fitri beberapa bulan lalu, pengunjung di warung empal gentong miliknya hanya kedatangan beberapa pelanggan setia saja, setiap hari. Bahkan saat akhir pekan, jumlah pengunjung tidak juga mengalami kenaikan. Sama saja. “Tapi kalau untung masih ada sedikit sedikit, ya asal angger lah,” imbuhnya. Namun, ia berkeyakinan, usahanya itu akan tetap bertahan di tengah semakin ketatnya persaingan. Terlebih di sepanjang ruas Jalan Kedawung hingga Plered, jumlah tempat usaha yang menjajakan hidangan serupa juga terus bertambah setiap tahunnya. “Rejeki sudah ada yang mengatur, masing-masing sudah dibagi. Apalagi setiap tempat punya ciri khas tersendiri,” lanjutnya. Ciri khas itulah yang dipertahankan. Bahkan, sejak beberapa generasi sebelumnya. Ia yang mendapatkan resep empal gentong khas dari daerah Jamblang dari segi tampilan, empal gentong H Hasan memiliki ciri khas kuah lebih berwarna kuning. Pengaruh dari banyaknya bumbu kunir yang ia tuangkan dalam memasak empal. Selain itu, jumlah takaran air dan daging juga dianggapnya menjadi penentu cita rasa. “Jadi sebenarnya ini kan cabang, yang utama di Jamblang. Karena pengen mandiri, kita buka sendiri. Makanya kita punya rasa khas tersendiri,” tandasnya. Serupa,  Agus Setiawan, pengelola empal gentong empal asem Hj Anah di Jalan Raya Tengahtani Kabupaten Cirebon. Agus yang sejak 20 tahun lalu memulai bisnis kuliner, mulai merasakan sepinya pengunjung. “Memang lagi sepi. Apalagi 3 bulan ini. Omset turun separuh. Dulu bisa sampai Rp2 juta perhari. Sekarang Rp1 juta aja tidak sampe,” tuturnya. Seperti pedagang lainnya, Ia pun lebih banyak santai di tempat usahanya itu. “Pokoknya lagi nggak enak dagang. Tiap hari sepi,” keluhnya. Namun, Agus masih beruntung. Lokasi warungnya yang tidak jauh dari salah satu toko oleh-oleh cukup terkenal, sedikit membantu usahanya tersebut. Meski tidak sering, beberapa kali para wisatawan yang datang membeli oleh-oleh kerap menikmati hidangan empal gentong di tempatnya. “Tapi kan tidak tentu, kapan ada rombongan ke sini lagi,” selorohnya. Sebagai alternatif, ia kemudian mencoba merekrut lima orang warga sekitar untuk menjajakan dagangannya secara keliling. Dari rumah ke rumah. Selain itu, ia juga menerima pesanan untuk berbagai keperluan, dari hajatan, ulang tahun dan acara lainnya. Yang terpenting, tetap berusaha, apapun hasilnya. “Asal jualan lah kalau sekarang,” ujarnya. Dari pantauan Radar Cirebon, di sepanjang ruas Jalan Raya Kedawung hingga Jalan Raya Plered, terdapat lebih dari 10 tempat jempal gentong. Rata-rat mereka juga menawarkan menu lain sebagai pendukung. Seperti sate, ayam bakar hingga nasi lengko. Meski weekend, suasana di hampir seluruh lokasi empal gentong relatif sepi, terlebih di tempat empal gentong “kecil”. Sementara itu, salah satu warung empal gentong di Jalan Raya Fatahillah, Kecamatan Desa Weru Kidul Kecamatan Weru, tutup hampir setahun. Warga sekitar menyebut, tutupnya warung bernama Nasi Jamblang dan Empal Gentong Hj Um itu, lantaran sepi pengunjung. Padahal lokasi warung hanya berjarak sekitar 100 meter dari gerbang pintu masuk kawasan pusat wisata Batik Trusmi. Kini, para pedagang hanya bisa berharap, empal gentong yang amat melekat dengan identitas Cirebon, tetap menjadi primadona di hati warga dan wisatawan. Tak hanya bagi pengusaha besar, berkah itu juga meluber ke pedagang kecil. Agar geliat wisata di Bumi Sunan Gunungjati ini juga dirasakan manfaatnya bagi penjaga cita rasa lezat dan khas empal gentong Cirebon. (day)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: