Gawat! Indonesia Diambang Krisis Petani

Gawat! Indonesia Diambang Krisis Petani

JAKARTA-Ketahanan pangan tanah air tak hanya tergerus oleh lahan yang terbatas. Akan tetapi, regenerasi petani yang ikut merosot. Indonesia diambang krisis petani. Kebijakan impor pemerintah dan kesejahteraan petani menjadi faktor krusial mengapa profesi itu tak lagi dilirik. Anggota Komisi IV DPR RI Felicitas Tallulembang mengatakan, sektor pertanian memang penuh dengan ironi. “Petani kita masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan mereka sendiri kerap sulit memenuhi kebutuhan harian mereka sendiri,\" ujarnya kepada Fajar Indonesia Network (Radar Cirebon Group), Rabu (17/10). Felicitas menjelaskan, masa depan di sektor pertanian tak cukup menjanjikan. Maka tak heran jika banyak lulusan pertanian yang tak mampu mengembangkan ilmunya sesuai dengan bidangnya. “Itu pun kalau ada nilainya sangat kecil. Kenapa? Karena memang tak ada masa depan menjanjikan untuk menjadi petani,” ucapnya. Generasi tua masih mendominasi jumlah petani tanah air. Menurut survei LIPI hanya empat persen petani saat ini berusia pada kisaran 15-35 tahun. Bahkan 65 persen jumlah petani saat ini berusia di atas 45 tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan jumlah rumah tangga petani mengalami penurunan hingga lima juta jiwa dalam satu dekade 2003-2013. Lebih lanjut, dikatakan Felicitas, selain tak menjanjikan dari segi pendapatan, status sosial profesi itu masih dipandang rendah.  “Menurut saya ini sudah cukup krusial. Pemerintah harus benar-benar serius dalam memperhatikan petani,” ucapnya. Mata rantai bisnis di sektor pertanian juga menjadi hambatan. Terpisah, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengungkapkan, permainan kartel turut menghambat stabilitas pangan. “Ini karena praktik kartel yang cukup meresahkan. Mereka membeli harga murah kepada petani dan menjual dengan harga tinggi kepada masyarakat,” katanya. Mantan Menko Kemaritiman Rizal Ramli juga berharap pemerintah bisa menciptakan iklim bisnis yang menguntungkan para petani. “Namun sistem yang ada justru membuat kita cukup bergantung pada impor, padahal kekuatan pangan kita sesungguhnya cukup kuat,” pungkasnya. (rdi/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: