Partisipasi Pemilih dan Masa Depan Demokrasi
SECARA sederhana, partisipasi pemilih dalam perhelatan pemilu dapat dipahami sebagai aktivitas warga negara yang bertujuan memengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi ini bersifat sukarela, tanpa dimobilisasi negara maupun partai yang berkuasa. Tetapi kemudian diperluas, terutama pada bagian ‘tanpa mobilisasi’, bahwa partisipasi yang ‘dipaksa’ (dimobilisasi) pun termasuk dalam kajian partisipasi. Dalam partisipasi politik setidaknya menggunakan dua cara. Yaitu partisipasi konvensional seperti ikut dalam kegiatan kampanye dan pemilu, dan partisipasi non-konvensional, yakni partisipasi yang mengikuti kemunculan “gerakan sosial baru” seperti gerakan feminis, protes mahasiswa dan sebagainya. Namun, cara dan bentuk partisipasi pemilih yang dimaksudkan adalah keterlibatan warga negara dalam kegiatan pemilihan umum atau khusus dalam memberikan suara. Partisipasi pemilih lebih mengarah kepada pengertian ‘keikutsertaan dalam pemilu’ yakni dengan ‘memberikan suara dalam pemilihan umum’, atau yang dalam pengertian teknis pemilihan umum adalah ‘datang ke TPS dan memberikan suara’. Pada pemilih yang ‘datang ke TPS dan memberikan suaranya secara tidak sah’, terdapat beberapa kondisi. Antara lain ketidaksengajaan karena ketidaktahuan, sehingga suara yang diberikannya tidak sah seperti mencoblos secara tidak benar dan lainnya atau bahkan ada pula unsur kesengajaan. Dan pada ‘pemilih yang tidak datang ke TPS’ dalam catatan penulis selama mengamati proses pemilu baik legislatif maupun kepala daerah, terdapat beberapa kondisi. Antara lain malas, karena tempat tinggalnya jauh dari TPS, bepergian, lebih memilih bekerja atau mencari uang dan berbagai alasan lainnya. Selain itu, ada juga karena namanya tidak masuk DPT (daftar pemilih tetap). Kondisi itu yang kemudian dikenal masyarakat dengan sebutan “golput”. Walaupun “golput” itu sendiri tidak dikenal dalam perundang-undangan dan terminologi teknis pemilu. Salah satu contohnya, dalam penyelenggaraan pilkada di Kabupaten Cirebon pada 2018 menunjukkan peningkatan partisipasi pemilih dibandingkan 2013 yang hanya 52,41% di putaran pertama dan 46,29% di putaran kedua. Pada Pilkada Kabupaten Cirebon 2018, data yang ada menyebutkan bahwa partisipasi pemilih di angka 1.056.804. Atau 63% dari 1.656.686 total DPT. Dengan rincian suara sah 1.000.519 (94,67%), suara tidak sah 56.285 (5,33%) dari 1.056.804 total partisipasi pemilih. Di mana pada Pilkada Cirebon kembali dimenangkan petahana, pasangan Sunjaya Purwadisastra dan Imron Rosyadi, dengan perolehan suara 319.630 (31,95%) mengungguli 3 pasangan lainnya. Semenatara untuk Pileg 2014 lalu, partisipasi pemilih di Kabupaten Cirebon tercatat hanya 63,45% dan Pilpres 61,26% saja. Meskipun grafik pilkada di Kabupaten Cirebon pada 2018 mengalami peningkatan dibandingkan 2013, tetapi angka golput masih terbilang tinggi. Hal serupa di beberapa daerah lain, kecenderungan turunnya partisipasi pemilih perlu dicermati dan dicarikan solusinya. Perhatian pada peningkatan partisipasi pemilih pada pemilu dan pilkada, bermanfaat bagi daerah yang tren partisipasi pemilihnya turun, stabil maupun naik. MOTIVASI PARTISIPASI PEMILIH PADA PEMILU Partisipasi pemilih dapat dipahami dengan pendekatan perilaku politik (political behaviour). Menurut Ramlan Surbakti [3], perilaku politik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: 1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media massa. 2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian seseorang, seperti keluarga, agama, sekolah, dan kelompok pergaulan (pengaruh). 3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Terkait lingkungan sosial politik baik langsung maupun tak langsung (faktor eksternal), penulis mencatat faktor-faktor internal yang ditelusuri dari konsep motivasi tindakan politik dan pilihan rasional (rational choice) yang beroperasi di wilayah perilaku politik masyarakat. Motivasi tindakan dan pilihan rasional ini berkaitan dengan persepsi atas “subjek pelaku kedua” dalam konteks pemilihan (apa yang dipersepsi dan akan dipilih), kepentingan (interest) dari si pemilih dan harapan terhadap “nilai kebaikan” yang dipersepsi (tujuan pemilu dalam persepsi pemilih). Subjek pelaku kedua, adalah “siapa yang akan dipilih” (partai politik, kandidat). Sedangkan “subjek pelaku pertama” adalah si pemilih itu sendiri. Adapun, “nilai kebaikan” adalah sesuatu tujuan dari tindakan politik yang dipersepsi pemilih. Dalam konteks pemilu adalah tujuan pemilu itu sendiri. Artinya, seseorang bisa saja memutuskan atau termotivasi untuk “ikut memilih” atau “tidak ikut memilih” (kemudian disebut “golput”) tergantung dari 3 hal: 1. Persepsi pemilih terhadap “apa yang akan dipilih”. 2. Kepentingan pemilih, artinya, pemilih merasa kepentingannya terpenuhi atau tidak jika ikut pemilu. 3. Pengharapan (ekspektasi) pemilih akan “nilai kebaikan” dari tujuan (ikut) pemilu. Proposisi ini didasari asumsi bahwa pemilih (masyarakat) pada dasarnya menginginkan kondisi masyarakat yang lebih baik. Termasuk dari keterlibatannya dalam aktivitas sosial maupun politik. Ketiga poin tersebut juga erat kaitannya dengan pemahaman dan pengetahuan pemilih terhadap isu pemilu dan yang disangkutpautkannya dengan kepentingan dirinya. Beberapa alasan pemilih dalam perhelatan pemilu, pertama, masyarakat merasa tidak terlalu memiliki ikatan sosial dengan partai politik. Pada lini ini, mereka menisbikan urusan politik (termasuk kepemiluan) dengan kepentingan pribadinya yang dalam banyak hal dengan ukuran pragmatis. Sehingga, kedua, masyarakat menilai eksistensi partai politik dan atribut politik yang melekat pada partai, dengan tindakan dan kemanfaatan konkret yang mereka rasakan. Kemudian mengeras menjadi, ketiga, masyarakat lebih memperhatikan aktor individual (figur calon) daripada aktor institusi (partai politik). Dari kondisai yang ada pada pelaksanaan pemilu, menunjukan bahwa masyarakat menilai keberadaan aktor politik (partai politik/personal) dari persepsi kemanfaatan. Dan ini seringkali dimaknai kemanfaatan praktis. Kondisi ini memengaruhi pola mobilisasi partai untuk tujuan elektoralnya (diperlukan dalam menelusuri solusi partisipasi dari aspek peran aktor politik). Dari sisi pemilih, ini berarti gejala alienasi (keterasingan) atau menjauhnya masyarakat dari esensi pemilu. Dan dari perspektif partisipasi pemilih, kondisi ini berpotensi menambah apatisme masyarakat pada isu pemilu atau pilkada. Dalam perhelatan pemilu, pileg dan pilkada, kecenderungan para pemilih lebih kepada memerhatikan aktor personal (figur caleg) daripada partai politik. Pemilih lebih tertarik pada program calon daripada performa (tampilan), janji kampanye, dan media/alat peraga peserta pemilu. Atas kondisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilih akan memilih untuk ikut pemilu (mencoblos) jika ada kemanfaatan secara nyata bagi mereka. Uniknya, gejala ini lekat bagai dua sisi mata uang dengan perilaku-cenderung-golput, jika aktivitas elektoral peserta pemilu (lagi-lagi yang diperhatikan adalah “orangnya”) tidak memberi nilai tambah pragmatis bagi pemilih. Hubungan pemilih seperti ini dengan peserta pemilu bercorak transaksional. Pada pemilih yang tidak memberikan suaranya (golput), terdapat beberapa jenis. Pertama, golput ideologis atau politis, yakni mereka yang dengan sengaja memilih untuk tidak meilih dengan alasan tidak ada gunanya ikut pemilu. Golongan ini menganggap pemilu tidak penting. Urusan politik kenegaraan juga tidak penting, karena dianggap penuh tipu-tipu dan koruptif. Golongan ini cenderung membenci politikus dan hal-hal yang berhubungan dengan politik dan pemilu. Perilaku golput jenis ini dapat juga dipicu ketidakpercayaan (distrust) terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara. Golongan ini biasanya berada pada golongan menengah ke atas dan kaum intelektual. Kedua, golput teknis. Mereka yang golput karena faktor dan kendala teknis seperti tidak dapat menjangkau TPS, bepergian, malas berangkat, dan tidak masuk DPT (daftar pemilih tetap). Pada golput jenis pertama, sulit untuk dipengaruhi. Treatment pada golput jenis ini memerlukan waktu yang lama dan edukasi yang kompleks. Pada golput jenis kedua, lebih mudah. Namun, di samping treatment jangka pendek untuk sekadar mengembalikan para “golputers” kembali ke jalan pemilu, diperlukan strategi berjangka panjang untuk—secara lebih permanen—memberikan pendidikan pemilih agar pemilih lebih termotivasi untuk ikut berpartisipasi dalam pemilu. STRATEGI MENINGKATKAN PARTISIPASI PEMILIH Upaya meningkatkan partisipasi pemilih, menurut penulis, dapat ditelusuri dari beberapa kondisi di sekitar “golput” dan memadukannya untuk mencari titik temu secara operasional, yaitu: 1. Kondisi yang menjadi masalah/penyebab kurangnya atau rendahnya partisipasi pemilih. 2. Lini partisipasi pada segmentasi pemilih rentan: pemilih pemula, pemilih mengambang (swing voters), pemilih usia lanjut, mereka yang kurang akses informasi, kaum “golput”. 3. Stakeholdersaktif, yakni “siapa yang berkepentingan dengan partisipasi pemilih”. Ketiga variabel di atas perlu ditelusuri sambil mengenali secara tepat: 1. Karakter pemilih 2. Nilai-nilai budaya lokal 3. Mendekatkan pemilih pada isu kemanfaatan pemilu Ketiganya dimaksudkan agar terbentuk konstruksi berpikir masyarakat bahwa pemeranannya dengan ikut pemilu secara aktif (sebagai pemilih) adalah memang kepentingan dan kebutuhannya (bukan sekadar hak atau wajib). Implikasi pendekatan ini adalah bahwa isu politik adalah urusan rakyat. Isu politik adalah menu sarapan pagi bersama kopi hangat. Bagaimana mengoperasikan gagasan ini? Pertama, mengurai variabel satu, dengan mencari penyebab kurang/rendahnya partisipasi. Dari penelitian penulis di atas, beberapa faktor rendahnya apresiasi pemilu adalah pragmatisme masyarakat. Ini diukur dengan aktivitas pemilu dan elektoral peserta pemilu dari sudut pandang kepentingan mereka (yang kerap bernilai pragmatis). Kedua, persepsi negatif pemilih terhadap “apa dan siapa yang akan dipilih”. Ketiga, mendekatkan jarak politik dan ikatan sosial pemilih dengan peserta pemilu. Faktor informasi (misalnya kelangkaan informasi tentang pemilu) tidak serta merta menjauhkan masyarakat dari keputusannya untuk ikut pemilu. Namun berada pada dataran pemahaman materi pemilu saja. Dari sisi partisipasi pemilu, tidak mengkhawatirkan. Justru dari sisi kepentingan peserta pemilu yang mengkhawatirkan. Karena kelangkaan informasi pemilu bisa membiaskan pemilih seperti salah pilih dan sebagainya. Ketiga poin di atas sekaligus bisa mengikis persepsi publik terhadap isu pemilu (bagian dari isu politik), bahwa urusan pemilu yang dipersepsi sebagai urusan elite (bukan urusan rakyat) menjadi bagian dari kehidupan rakyat. Sayangnya, isu politik masih dianggap “horor”, sulit, tidak terjangkau, tingkat tinggi, penuh tipu-tipu. Dan itu urusan elite. Nah. Mengubah persepsi itu yang semestinya menjadi isu utama pendidikan politik dan pemilih. Jika rakyat merasa urusannya terpenuhi dengan aktivitas kepemiluan, maka merasa dekat dan bersedia ikut pemilu. Pada kondisi ini, treatment yang dapat dilakukan adalah mendekatkan isu pemilu menjadi dekat dengan urusan dan kepentingan rakyat. Dan yang paling utama keterlibatan semua pihak sampai level pemerintahan terkecil yakni RT harus tersentuh secara utuh akan pentingnya partisipasi pemilih dalam pemilu. Seperti melibatkan Babinsa/Babinkantibmas (TNI/Polri), Forum Komunikasi Kuwu/Kepala Desa/Kelurahan, pengusaha swalayan/mal, hotel dan khususnya komunitas-komunitas yang ada di daerah yang bersentuhan langsung dengan para pemilih pemula dengan diimbangi kreativitas dan cara yang modern tentunya. (*) *) Ditulis Mastari, Sekretaris Umum Ikatan Alumni Unswagati Cirebon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: