Sitiwinangun Itu Tanah yang Dibangun, Kini Jadi Destinasi Wisata

Sitiwinangun Itu Tanah yang Dibangun, Kini Jadi Destinasi Wisata

Setelah 9 tahun berupaya bangkit dari keterpurukan, perajin mulai memetik hasil dari usaha yang telah dilakukan. Pesanan mengalir deras. Wisatawan juga mulai berdatangan. Desa Sitiwinangun pun dirancang jadi destinasi wisata gerabah. Beberapa fasilitas didirikan untuk mendukung rencana tersebut. NURHIDAYAT, Cirebon NURWATI tampak begitu cekatan. Membungkus pesanan gerabah yang dipesan salah seorang pelanggan. Dibantu sang suami, Jayadi, siang itu keduanya terlihat begitu semringah. Sejak pagi kios usaha gerabah miliknya tidak berhenti menerima tamu. “Alhamdulillah, ikut merasakan dampaknya nih. Memang setelah banyak promosi dan meningkatnya kunjungan wisatawan, pesanan gerabah naik drastis,” ujarnya kepada Radar Cirebon. Nurwati, satu dari beberapa pemilik kios penampung produk gerabah warga Sitiwinangun. Lima tahun lalu dia memulai usahanya. Awalnya hanya berbekal satu etalase. Dengan belasan produk gerabah, dia kemudian mantap memasarkan hasil karya tangan para tetangga. “Awalnya tertatih dulu, karena belum punya pelanggan. Modal juga terbatas. Apalagi saya orang baru. Sampai kemudian beberapa perajin mulai memberikan kepercayaan dan menitipkan ke sini,” imbuhnya. Sejak itu, produk gerabah di teras rumah yang ia sulap menjadi showcase mulai bervariasi dengan berbagai bentuk dan jenis. Sesuai kebutuhan. “Nah tahun pertama itu saya baru punya satu pelanggan waktu itu. Tambah tahun, pelanggan meningkat dan seterusnya. Tetapi paling terasanya tahun ke 4 dan 5. Tahun ini sama tahun kemarin. Setiap minggu ada saja orang kulakan,” imbuhnya senang. Selain menjual di toko, ia juga memasarkan produk itu melalui sistem online. Dari situ, ia mampu menggaet pelanggan dari sejumlah hotel ternama. Pasar pun meluas. Tak hanya di Cirebon. Dia pernah mengirimkan pesanan ke sejumlah daerah. Seperti Sumedang, Garut, hingga Bengkulu dan Banjarmasin. “Biar awet, saya juga beri tipsnya kepada pelanggan. Bagian dari pelayanan ya,” katanya. Tercatat, dia kini telah menampung produk gerabah dari 7 perajin di Desa Sitiwinangun untuk menambah koleksi. Dia juga mendatangkan sejumlah produk dari Plered dan Kasongan Jogjakarta. Selain menambah variasi produk, itu juga dilakukan lantaran masing-masing daerah memiliki kekuatan. Seperti Kasongan, produk gerabah dikenal memiliki bentuk finishing lebih halus, namun tidak memiliki ketahanan saat digunakan untuk memasak. “Kalau yang Kasongan kaya perebusan jamu itu sekali pakai untuk memasak langsung pecah. Saya sampe pusing, waktu itu ditelepon pelanggan. Baru dipakai memasak katanya pecah. Padahal baru beli. Memang sih kalau semua barang pasti ada usianya, tapi yang tanah di sini memang paling kuat. Saya pernah baca-baca sejarah dan benar, paling kuat. Jadi produk gerabah dari sini satu dua bulan tetap kuat untuk memasak,” jelasnya. Selain itu, gerabah  khas Cirebon juga unggul karena memiliki ukiran-ukiran ornamen yang tidak dimiliki daerah lain. Seperti motif mega mendung. “Saya pernah punya koleksi gerabah panci yang dalamnya keramik luarnya tanah. Diikutkan pameran sama teman, Alhamdulillah laku. Lumayan mahal, satu juta lebih. Itu katanya karena ukiran mega mendungnya masih rapih,” kenangnya. Beberapa produk yang paling banyak dicari yakni panci perebusan jamu, setip bulannya ia mampu menjual hingga 100 buah. Disusul memolo (puncak atap masjid) yang mencapai 70 buah dan celengan. Selain itu, warga juga banyak mencari produk lain seperti topeng dan pot bunga, mangkok, hingga panci. “Kalau mangkok kan sekarang sedang banyak warung empal yang menggunakan mangkok gerabah. Nah kadang enak juga pembeli empal yang tertarik dengan mangkoknya, akhirnya beli,” kata Nurwati. Sementara itu, Kuwu (Kepala Desa) Sitiwinangun Ratija Brata Menggala mengungkapkan, gerabah di desanya bukan hanya semata-mata berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Melainkan juga berkaitan dengan sejarah dan budaya desa. Gerabah tidak bisa dilepaskan dari kedua unsur kekuatan kearifan lokal. “Nama Sitiwinangun sendiri identik dengan gerabah. Siti itu artinya tanah, Winangun itu yang dibangun. Jadi, nama Sitiwinangun itu dari gerabah,” tuturnya. Bahkan, dalam sebuah kesempatan, ia pernah mendapatkan informasi, jika Desa Sitiwinangun merupakan bagian dalam sejarah penjelajahan Laksamana Cheng Ho. Itu terbukti dari sejumlah produk gerabah bermotif naga. “Tahun 70 ke belakang, ini hampir semua rumah terutama Blok Caplek dan Kebagusan, usaha pokok warganya dari kerajinan gerabah,” terang Ratija kepada Radar Cirebon. Kemudian sekitar tahun 70-an mulai penurunan akibat adanya produk yang sama berbahan plastik dan logam. “Karena memang pada watu itu yang banyak diproduksi benda fungsi yang berkaitan dengan perabot rumah tangga, seperti tungku, kemudian gentong, pedaringan, dan lain-lain. Akhirnya kalah dengan produk-produk itu,” katanya. Tidak kehilangan akal, kemudian warga mulai banyak memproduksi pot bunga. Untuk menambah nilai estetika, bahkan waktu itu warga telah membuat variasi dengan memanfaatkan kulit kerang, bertahan sampai awal 90 an. “Lalu muncul pot plastik. berpengaruh pada gerabah. industri gerabah hampir hilang, warga banyak meninggalkan gerabah dan mecoba usaha lain,” cerita Ratija, seperti halnya yang disampaikan Kadmiya, pada edisi sebelumnya. Akhirnya, pada tahun 2016 lalu, saat dirinya menjabat kuwu, banyak pihak yang tertarik mengembangkan Desa Sitiwinangun. Salah satunya datang dari Forum Bisnis Cirebon (FBC) yang dipimpin Sultan Sepuh Pangeran Arif Natadiningrat. Arif menawarkan agar desa tersebut diupayakan untuk menjadi desa wisata. Dengan ikon gerabah sebagai daya tarik. “Sejak itu ada peningkatan permintaan gerabah. Di sisi lain, kami juga dilatih untuk meningkatkan kemampuan,” katanya.  Diawali pendampingan dan meningkatkan kemampuan, masyarakat didorong mengembangkan kualitas produk dan keanekaragaaman produk terutama gerabah untuk asesori baik indor maupun outdor. “Alhamdulillah bulan kemarin kita baru saja ada pendampingan dari pemerintah dengan instruktur dari ITB. Selama satu bulan kami dilatih mengembangkan produk. Jadi sudah memahami keunggulan produk dan generasi muda juga mulai tertarik,” bebernya. Dari semua itu, hasilnya peningkatan signifikan tidak sekadar aktivitas jual beli produk, melainkan sudah menjadi destinasi wisata Cirebon. Berbagai fasilitas pendukung juga telah dibangun untuk memperkuat identitas desa wisata. “Kemarin diresmikan tiga fasilitas wisata, monumen Anjun atau perajin gerabah, show room, dan Pendopo Pancaniti. Pendopo ini sebagai tempat untuk wisata belajar, terutama anak-anak sekolah atau mahasiswa yang ingin langsung praktik membuat produk gerabah,” katanya. “Kita akan terus menjalin kerja sama menggandeng para stakeholder. Syukur-syukur bisa bekerja sama dengan agen travel. Sehingga wisatawan yang datang ke Cirebon bisa dibawa ke sini. Kami berharap bisa mengarah ke sana,” tandasnya. (*/habis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: