Hakim, Panitera, Pengacara Kena OTT KPK
JAKARTA-Publik kembali disuguhkan berita Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK. kali ini terhadap hakim, panitera, dan pengacara. Enam orang diciduk. Setelah pemeriksaan, 5 orang akhirnya ditetapkan menjadi tersangka. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan OTT itu terkait penanganan perkara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. KPK mengamankan uang sekitar 45.000 dolar Singapura. Agus membenarkan lima orang sudah menjadi tersangka. Terdiri dari 2 hakim, 1 pengacara, 1 panitera, dan seorang pihak swasta. Seorang tenaga keamanan atau satpam dipulangkan. Para tersangka itu antara lain hakim PN Jaksel Iswahyu Widodo, hakim Irwan, dan panitera pengganti PN Jaktim Muhammad Ramadhan. Ketiganya sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan tersangka berstatus pemberi suap adalah pengacara Arif Fitrawan dan pihak swasta Martin P Silitonga. “MPS (Martin P Silitonga) saat ini sedang dalam penahanan Kejaksaan Negeri Jaksel atas dugaan pelanggaran pidana umum,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu malam (28/11). Dalam OTT tersebut, KPK mengamankan barang bukti berupa uang tunai sebesar 47 ribu dolar Singapura. Uang diduga terkait dengan dugaan suap kepada majelis hakim PN Jaksel yang menangani perkara perdata nomor 262/Pdt.G/2018/PN Jaksel antara Isrulah Achmad sebagai penggugat, serta Williem J.V. Dongen, PT APMR, dan Thomas Azali sebagai pihak tergugat. Gugatan perdata itu terkait dengan pembatalan akuisisi PT CLM oleh PT APMR. Alex memaparkan, KPK mulanya menangkap Arif Fitrawan bersama rekannya yang juga berprofesi sebagai advokat di restoran cepat saji di daerah Tanjung Barat pukul 19.00 WIB. Secara paralel, tim KPK lainnya mengamankan Muhammad Ramadhan beserta seorang petugas keamanan di kediamannya di Pejaten Timur. Di rumah Ramadhan, KPK menemukan barang bukti sebesar 47 ribu dolar Singapura. “Kemudian, dua tim KPK bergerak secara bersama-sama untuk mengamankan Iswahyu Widodo dan Irwan di kos masing-masing di Jalan Ampera Raya. Keenamnya lalu digelandang ke Gedung KPK, namun, advokat rekanan Arif dan seorang petugas keamanan dipersilakan pulang oleh penyidik,” jelas Alex. Terindikasi, penggugat dalam perkara perdata tersebut menjalin komunikasi dengan Ramadhan melalui advokat Arif selama proses persidangan. Ramadhan diduga berperan sebagai perantara antara penggugat dengan majelis hakim PN Jaksel yang menangani perkara tersebut, yakni Iswahyu dan Irwan. Diduga, kedua hakim telah menerima dana sebesar Rp150 juta dari Martin P Silitonga, pihak PT CLM, untuk memengaruhi putusan sela perkara tersebut agar tidak diputus N.O. (tidak dapat diterima). Sebab, pada gugatan perdana yang diajukan di Makassar, perkara tersebut diputus N.O. oleh PN Makassar pada Agustus 2018. Arif kemudian menyepakati bahwa Iswahyudi dan Irwan akan menerima dana lain senilai Rp500 juta untuk putusan akhir perkara. Lagi-lagi, dana tersebut berasal dari Martin. Dana diberikan kepada Arif melalui transfer bank pada 22 November. Pada 27 November, Arif menarik dana tersebut melalui tiga cabang Bank Mandiri yang berbeda. Lalu, Arif menukarnya ke mata uang dolar Singapura dan didapat 47 ribu dolar Singapura. Setelahnya, Arif menitipkan uang itu kepada Ramadhan untuk diberikan kepada Iswahyudi dan Irwan. Proses penyerahan uang dilakukan di kediaman Ramadhan. Namun, sebelum dana diserahkan, KPK keburu mengamankan para pelaku. “Dalam komunikasi teridentifikasi kode yang digunakan adalah \'ngopi\' yang dalam percakapan disampaikan, \'Bagaimana, jadi ngopi gak\',\" kata Alex. Setelah melakukan pemeriksaan dilanjutkan gelar perkara, sambung Alex, disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh hakim terkait perkara yang ditanganinya di PN Jaksel tahun 2018. “Maka KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan,” pungkas Alex. Dua hakim dan satu panitera dijerat Pasal 12 huruf c dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara Arif Fitrawan dan Martin Silitonga dijerat Pasal 6 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Terpisah, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Nasdem Taufiqulhadi menyayangkan suap masih terjadi di lembaga mencari keadilan. “Karena melibatkan hakim, panitera, dan pengacara, itu bisa dikatakan sempurna sekali. Mungkin itu yang biasa terjadi di pengadilan,” kata Taufiqulhadi saat dihubungi lewat sambungan telepon, Rabu (28/11). Ia mengaku sedih dengan aksi suap yang dilakukan oleh para pengadil. Taufiqulhadi juga meminta agar KPK menyertakan alat-alat bukti dalam OTT tersebut. \"Jadi kalau sekarang ditangkap, saya harap OTT itu benar dan cukup alat bukti. Kalau benar, saya merasa sangat sedih dengan praktik di pengadilan seperti itu. Coba bayangkan, itu melibatkan hakim, panitera, dan pengcara. Sangat ironi. Padahal, di sanalah orang ingin mendapatkan keadilan,” sambungnya. Wakil Ketua DPR-RI Fadli Zon menyayangkan tindakan suap itu dilakukan para pengadil di PN Jakarta Selatan. \"Tentu kita sangat sayangkan. Tapi kita lihat prosesnya seperti apa. Saya kira mungkin itu karena ada kesempatan saja,” ucap Fadli. (rba/riz/FIN)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: