Berkunjung ke Kampung Batik Ciwaringin, Ada Motif Tebu Sakeret Berusia 200 Tahun

Berkunjung ke Kampung Batik Ciwaringin, Ada Motif Tebu Sakeret Berusia 200 Tahun

Kampung Batik Tulis Ciwaringin. Nama daerah ini mungkin belum terlalu akrab di telinga kita. Satu sudut di Kabupaten Cirebon yang jauh dari hingar-bingar metropolitan. Di tempat ini, Desa Ciwaringin, terhampar permadani hijau dari padi-padi yang berbaris rapi. Nun jauh di sana, beberapa gunung berdiri kokoh. Menambah sempurna panorama pedesaan yang indah dan asri. Perjalanan menujunKampung Batik Ciwaringin. Untungnya kampung batik ini tidak terlalu sulit dicari. Kurang lebih setengah jam saja ke arah barat dari Kota Cirebon, mata dimanjakan dengan ragam hias Batik Tulis Ciwaringin. Dan sesuai dengan namanya, batik-batik yang diproduksi di Kampung Batik Tulis Ciwaringin merupakan batik tulis. Berikut hasil penelusuran radarcirebon.com bersama ibu Dahlan Iskan saat mengunjungi Kampung Batik Tulis Ciwaringin. Disambut dengan gapura besar yang menandakan eksistensi daerah ini. Memang tempat ini tak sepopuler daerah Trusmi di Cirebon. Bisa dibilang Kampung Batik Tulis Ciwaringin baru beberapa tahun dikembangkan secara serius. Meski begitu, aktivitas membatik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kampung Batik Tulis Ciwaringin. Menurut cerita, Kampung Tulis Batik Ciwaringin bermula dari keberadaan Desa Babakan Pesantren di Kecamatan Ciwaringin. Selain belajar mengaji, para santri di Ciwaringin juga belajar membatik. Keterampilan membatik ini konon diajarkan oleh istri dari K.H. Mohammad Amin. Semakin lama santri yang belajar di Desa Babakan pun semakin banyak. Sebagian dari mereka adalah santri kalong—yang mengaji di Desa Babakan pada siang hari dan setelah itu kembali lagi ke desanya. Para santri kalong ini juga berkontribusi mengembangkan produksi batik di Ciwaringin. Sayangnya, Batik Ciwaringin sempat mati suri. Popularitasnya kalah jauh jika dibandingkan dengan Kampung Batik Trusmi di Cirebon. Padahal, batik produksi Ciwaringin juga dipasarkan di Trusmi. Baru setelah adanya pengakuan bahwa batik adalah warisan dunia non benda dari UNESCO pada tahun 2009, kejayaan Batik Tulis Ciwaringin kembali dibangun. Tak hanya bertahan dengan produksi batik tulis, Kampung Batik Tulis Ciwaringin juga konsisten dengan produksi batik warna alam. Hampir 80% batik yang dijual di Kampung Batik Tulis Ciwaringin adalah batik tulis warna alam. Penggunaan pewarna alam di Kampung Batik Tulis Ciwaringin mulai marak digunakan sejak EKONID melakukan sosialisasi program Clean Batik Initiative (CBI) pada tahun 2011. Program ini disambut baik pembatik yang ada di Kampung Batik Tulis Ciwaringin. Selain menjaga kelestarian alam, batik tulis warna alam juga menambah nilai jual batik yang diproduksi di Kampung Batik Tulis Ciwaringin. Warna alam yang lembut dan tak terlalu mencolok, umumnya lebih diminati oleh konsumen dari luar negeri. Mengutip Kudiya, Komarudin, dkk, Batik Pantura Urat Nadi Penjaga Tradisi: Ragam dan Warna Batik Pesisir Utara Jawa Barat, (Jawa Barat: Yayasan Batik Jawa Barat dan Bank Rakyat Indonesia, 2016), Proses pewarnaan batik dengan pewarna alami memakan waktu yang lebih lama. Kain yang digunakan juga tidak boleh sembarangan. Pewarna alam hanya bisa meresap sempurna pada kain katun mori jenis primisima (GA, Tiga Bendera, Kereta Kencana dan Cap Cent) yang harganya lebih mahal dari katun mori jenis prima ataupun biron. Pada saat pencelupan warna pun harus dilakukan berkali-kali, ini karena pewarna alami tidak seterang pewarna sintetis. Menjemurnya pun harus memperhatikan cuaca dan sinar matahari, sehingga lama pengerjaannya sangat bergantung dengan kondisi alam. Umumnya pewarna alami yang digunakan di Kampung Batik Tulis Ciwaringin diperoleh dari tanaman yang tumbuh di sekitar tempat tinggal pembatik. Tetapi ada juga yang dibeli dari luar Ciwaringin. Pewarna alami yang banyak digunakan antara lain pewarna alami indigofera/nila/tarum yang akan menghasilkan warna biru. Warna coklat yang banyak ditemukan dalam batik tulis produksi Kampung Batik Tulis Ciwaringin diperoleh dari kayu mahoni. Sementara mangga akan menghasilkan warna kuning kehijauan. Agar tak larut saat proses lorod, pewarna alami harus “diikat” dengan tawas, kapur, atau tunjung. Hasil dari pewarna alami yang diikat/difiksasi dengan tawas, kapur, ataupun tunjung juga sangat berbeda. Selain pengaruh Indramayu dan Cirebon, pengaruh Lasem juga terasa sangat kuat. Misalnya dengan mudah bisa kita temukan motif merak dengan ekor yang besar dan menjulang tinggi seperti motif batik di Lasem. Ada juga motif batik yang menggambarkan ragam hias tanaman seperti motif batik latohan atau sekar asem di Lasem. Bahkan motif sakral dan legendaris sekelas motif batik Tiga Negeri—yang menggunakan warna merah, sogan dan biru—juga diproduksi di Kampung Batik tulis Ciwaringin. Bukan tanpa proses, sebagian motif khas Ciwaringin yang baru saja dipatenkan ini sudah ada sejak tahun 1800-an, di mana batik Ciwaringin baru saja dijajal setelah mendapatkan pengaruh batik dari santri yang baru saja pulang dari wilayah Lasem, Jawa Tengah. Tampaknya Kampung Batik Tulis Ciwaringin juga tak bisa melepaskan dirinya dari pesona batik Madura. Beberapa motif batik dan warna khas Madura pun ditemukan di Kampung Batik Tulis Ciwaringin. Ada batik tulis motif Bang Biron Dlorong dengan warna merah (bang) dan biru (biron) khas Madura yang memuat garis-garis diagonal dengan bunga-bunga bermekaran. Selain batik tulis motif Tebu Sekeret, ada juga batik tulis motif Kapal Kandas. Sepintas dari namanya, motif batik ini memang memiliki kesamaan nama dengan batik tulis motif Kapal Kandas yang ada di Indramayu, namun secara ragam hias tampak jauh berbeda. Batik Tulis Kapal Kandas versi Ciwaringin lebih banyak memuat bentuk segitiga besar yang menyerupai daun. Motif Batik Kapal Kandas sendiri konon terinspirasi dari kapal-kapal nelayan yang sering tenggelam di laut lepas. Selanjutnya ada batik tulis motif Yusupan. Tak ada yang tahu persis mengapa motif ini dinamakan Motif Batik Yusupan. Sebagian pembatik di Ciwaringin percaya, motif batik ini pertama kali dibuat oleh orang yang bernama Yusuf. Kemungkinan motif ini adalah hasil karya dari salah satu santri di Desa Ciwaringin. Berbagai motif batik yang diproduksi di Kampung Batik Tulis Ciwaringin memang memiliki cerita dan sejarahnya sendiri. Selayaknya karya tangan manusia, batik tak mampu terpisah dari pertautan antara kisah dan rasa. Maka Batik Tulis Ciwaringin pun menjadi begitu istimewa karena merangkum juga harapan dan doa dari para pembuatnya. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: