Cabut Hak Politik, Revisi UU Tipikor

Cabut Hak Politik, Revisi UU Tipikor

JAKARTA - Tuntutan pidana yang begitu rendah, dan adanya subsider kurungan penjara dinilai menjadi celah bagi para koruptor untuk mengulangi perbuatan tercelanya. Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi direvisi. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, maraknya kepala daerah tersandung kasus korupsi salah satunya akibat tuntutan pidana yang masih tergolong rendah. Parahnya, vonis yang dijatuhkan rata-rata hanya kurungan penjara selama enam tahun empat bulan. Mayoritas vonis tersebut lebih rendah dari rataan tuntutan yang hanya mencapai tujuh tahun lima bulan. \"Selain itu ditemukan bahwa hukuman pidana tambahan yakni pencabutan hak politik masih minim dijatuhkan,\" kata Kurnia, Minggu (16/12). Fakta tersebut, lanjut Kurnia, menunjukkan bahwa hakim kerap menjatuhkan vonis lebih rendah dibanding tuntutan jaksa. Padahal, tidak ada larangan bagi hakim untuk memutus vonis lebih besar daripada tuntutan. \"Justru hal yang dilarang adalah jika kemudian hakim memberikan vonis di atas pidana maksimal yang tertulis di undang-udang atau berlainan dengan pasal yang didakwakan,\" tegasnya. Menurut Kurnia, ada empat poin penting yang menjadi dalang rendahnya hukuman yang dijatuhkan pada koruptor. Pertama, terdapat celah dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam Pasal 3 UU Tipikor, maksimal hukumannya yakni hanya satu tahun penjara. Padahal, pasal ini ditujukan kepada seseorang yang mempunyai jabatan. \"Sedangkan pasal 2 yang notabene ditujukan kepada masyarakat justru pidana penjara minimumnya lebih tinggi, yakni empat tahun penjara,\" imbuhnya. Kedua, majelis hakim belum memandang korupsi sebagai tindak pidana luar biasa (extraordinary crime). Pasalnya, dari 84 perkara yang disidangkan, hampir setengahnya (41 perkara) divonis ringan atau hanya berkisar satu hingga empat tahun penjara. Sementara, hanya tiga terdakwa yang divonis pidana berat (di atas 10 tahun). Anomali serupa juga ditemukan pada tingkat banding. Dari total 34 perkara, 15 di antaranya diganjar pidana ringan. \"Ini sebenarnya membuktikkan bahwa judex facti belum sepenuhnya berpihak pada pemberantasan korupsi,\" tegas Kurnia. Ketiga, yakni disparitas pemidanaan. Berdasarkan data yang dihimpun ICW, terdapat beberapa putusan yang menggunakan pasal berikut kerugian yang sama, akan tetapi pemidanaannya berbeda. Misalnya, dalam putusan terdakwa Bupati Siak, Arwin AS, dan Bupati Kalimantan Timur, Abdul Fatah. \"Arwin AS divonis empat tahun penjara, nilai kerugian negara Rp301 miliar. Sedangkan Abdul Fatah divonis 1,5 tahun penjara, kerugian negara Rp346 miliar. Padahal dari sisi kerugian tidak jauh berbeda,\" terangnya. Terakhir, tuntutan jaksa yang belum maksimal. Dari total 84 perkara, 16 di antaranya dituntut pidana ringan. Kurnia mengatakan, dilihat dari konstruksi dakwaan, mayoritasnya menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang memungkinkan untuk menuntut pelaku korupsi dengan pidana maksimal. \"Nah sebagai leading sector bagi pemberantasan korupsi seharusnya lembaga antirasuah ini dapat menuntut hukuman berat bagi pelaku korupsi yang berasal dari sektor kepala daerah,\" bebernya. Menanggapi hal ini, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyebut, biaya politik yang tinggi menjadi salah satu pemicu perilaku korupsi kepala daerah. Sebab, menurut dia, kepala daerah kerap mengembalikan dana pencalonan dan kampanye melalui tindak pidana korupsi. \"Biaya pencalonan itu Rp20 miliar hingga Rp30 miliar. Kalau tidak korupsi, kerja siang malam pun kembalikan modal saja tidak bisa,\" terang Agus. Maka dari itu, ia mendorong pemerintah untuk segera membenahi sistem pemilu agar berbiaya rendah. Misalnya, melalui revisi undang-undang pemilu dan partai politik. \"Salah satu usulan yang ditawarkan KPK adalah pembiayaan parpol sepenuhnya oleh negara,\" kata dia. (riz/fin/ful)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: