Sikap Antipoligami Ibu Tien Pengaruhi Kebijakan Soerharto

Sikap Antipoligami Ibu Tien Pengaruhi Kebijakan Soerharto

Siti Hartinah istri Presiden Soeharto punya pegangan hidup dalam membina biduk rumah tangganya. Bagi Ibu Negara yang akrab di sapa Ibu Tien ini, prinsip pernikahan monogami adalah harga mati. “Hanya ada satu nyonya Soeharto, dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbullah satu pemberontakan yang terbuka dalam rumah tangga Soeharto,” kata Soeharto sambil tersenyum kepada jurnalis Jerman, O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto.  Prinsip ini pula yang dijunjung tinggi Soeharto sejak menyunting Tien sebagai pendamping hidupnya. Dalam suasana revolusi, Tien dan Soeharto memutuskan menikah pada 26 Desember 1947.  Hingga akhir hayat masing-masing, keduanya tetap setia sebagai pasangan suami-istri. Suara dari Istana Menurut Roeder, Ibu Tien sangat menentang poligami. Soalnya, pria yang memperistri lebih dari satu perempuan seringkali menimbulkan ketidakdilan dalam perkawinan. Rentannya kedudukan perempuan akibat belenggu poligami memicu Tien ikut memperjuangkan hak perempuan. Itulah sebabnya, Tien berpadu dengan para pemimpin organisasi wanita yang getol memperjuangkan Undang-undang (UU) Perkawinan. Sejak penghujung 1960, Rancangan UU Perkawinan telah digulirkan. Namun prosesnya berjalan alot penuh aral. Di tingkat legislatif, wacana UU Perkawinan memantik perdebatan dan pertentangan yang ujung-ujungnya mentok. Penolakan terutama datang dari kelompok Islam karena praktik poligami dibenarkan dalam hukum syariat. Pasal-pasal dalam UU Perkawinan dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Tak heran, demontrasi kerap mewarnai perjalanan menggolkan UU Perkawinan baik dari mereka yang pro maupun kontra. Bila organisasi wanita saat itu memperjuangkan UU Perkawinan lewat serangkaian aksi unjuk rasa, maka Ibu Tien bergerak dari jalur Istana. Tien mendorong suaminya, Presiden Soeharto agar memberikan ruang bagi perempuan melalui UU Perkawinan. Soeharto yang menerima Rancangan UU Perkawinan itu kemudian meneruskannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan suami-istri dalam kedudukan yang semestinya dan suci,” kata Soeharto di hadapan DPR dikutip Abdul Gafur dalam Siti Hartinah: Ibu Utama Indonesia. Pada 2 Januari 1974, UU Perkawinan itu akhirnya diputuskan sebagai UU (No. 1 tahun 1974). UU ini memang tak melarang poligami tetapi mengatur regulasinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perjuangan kaum istri terjawab setelah UU ini menetapkan bahwa seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Presiden Soeharto membubuhkan tanda tangannya, mensahkan UU yang peka dan pelik itu. Menjewer Pejabat Negara Ibu Tien agaknya menyadari praktik poligami yang juga dilakukan oleh pejabat tinggi negara. Di kalangan TNI misalnya, beberapa jenderal teras punya reputasi sebagai “Don Juan”. Jenderal Soemitro dan Herman Sarens Sudiro hanyalah segelitir nama. Menyadari hal demikian, Tien pun jengah. “Memang Ibu Tien Soeharto sangat mengecam perwira yang poligami. Dan bisa jadi akhir buat karier perwira itu di TNI,” kata Sayidiman Suryohadiprodjo, wakil KSAD periode 1973-74 kepada Historia.

 
Ikhtiar Tien untuk mencegah poligami dan perceraian pun tak berhenti sampai UU Perkawinan. Peraturan serupa diberlakukan kepada tentara pada 1980 dan polisi pada 1981. Puncaknya terjadi ketika dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tentang izin pernikahan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada 21 April 1983. Menurut Cindya Esti Sumiwi, lahirnya PP tersebut lantaran berbagai tuntutan dari para anggota Dharma Wanita (istri-istri PNS) yang resah dengan kelakuan suami mereka. Kelakuan yang dimaksud seperti poligami secara diam-diam maupun perceraian yang sewenang-wenang. “Pada intinya, PP ini membahas mengenai peraturan pernikahan untuk PNS yang bersangkutan meminta izin kepada atasannya dan diizinkan secara tertulis, baik untuk percerain atau pernikahan yang kedua/ketiga/dan seterusnya,” tulis Cindya dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Perjalanan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia 1974—1983”. Proses pengesahan rancangan PP No. 10, sebagaimana diungkapkan Ny. T. Fuad Hasan dalam Dwiwindu Dharma Wanita: 5 Agustus 1974-5 Agustus 1990, tak terlepas dari peranan Ibu Tien Soeharto yang turut mendukung disahkannya PP tersebut. Peran Ibu Tien secara gamblang dapat terjejaki dalam buklet Dharma Wanita yang mengakui dukungan kuatnya dalam perjuangan Dhama Wanita untuk PP 10. Konon PP 10, ungkap sejarawan cum aktivis gender Julis Suryakusma dalam artikelnya Seksualitas dalam Pengaturan Negara termuat di Prisma, 7 Juli 1991, merupakan cermin kecemasan dari seorang Tien Soeharto terhadap kebiasaan kawin mawin pejabat elite bergaya priayi. Umum diketahui, Ibu Tien Soeharto dapat menentukan nasib pejabat tinggi pemerintahan yang melakukan “pelanggaran seksual”, seperti misalnya perceraian ataupun poligami. Bagi mereka yang berani membangkang, siap-siap saja kena ganjarannya. Widjojo Nitisastro yang menjabat Menteri Koordinator Ekonomi merangkap Ketua Bappenas hanyalah satu contoh konsekuensi kebijakan PP 10. Widjojo memutuskan menceraikan istrinya dan menikahi sekretarisnya. Dia akhirnya harus melepas jabatannya namun tetap dipertahankan sebagai penasihat ekonomi. “Sanksi pelanggaran berupa penundaan kenaikan pangkat atau gaji, dan paling buruk, dipecat dengan tidak hormat dari kepegawaian,” tulis Julia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: