Tsunami Selat Sunda: Riset Potensi Sudah Lama Disusun Para Geolog, Hasilnya Belum Pernah Jadi Rujukan Pemerint

Tsunami Selat Sunda: Riset Potensi Sudah Lama Disusun Para Geolog, Hasilnya Belum Pernah Jadi Rujukan Pemerint

Gelombang tsunami dari Selat Sunda melanda area Banten dan Lampung khususnya di Anyer, Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Lampung Selatan pada Sabtu (22/12) malam sekitar pukul 21.27 WIB. Awalnya, terjadi simpang-siur informasi terkait tsunami ini. Baca: Mengapa Informasi Tsunami Anyer dan Lampung Jadi Kontroversi? Tsunami bertepatan dengan bulan purnama, sehingga BMKG sempat mengumumkan bahwa yang terjadi adalah gelombang pasang. Baca: BMKG: Bulan Purnama yang Menyebabkan Gelombang Pasang di Anyer Kemudian, informasi diralat: bukan gelombang pasang, melainkan tsunami yang terjadi karena gempa vulkanik dari letusan Gunung Anak Krakatau. Baca: Tsunami Selat Sunda Berawal dari Erupsi Gunung Anak Krakatau Hingga Longsor Kawah Seluas 64 Hektare Dalam catatan Oregon State University, berjudul Volcanic Tsunamis sekitar lima persen dari total penyebab tsunami berasal dari aktivitas vulkanik gunung berapi. Bagaimana aktivitas gunung berapi memicu gelombang tsunami? Tsunami vulkanik dapat terjadi akibat runtuhnya kaldera, pergerakan tektonik dari aktivitas gunung berapi, atau peluruhan piroklastik dari gunung api yang mempengaruhi air laut. Saat gelombang tsunami menerjang, status Gunung Anak Krakatau yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ada pada Level II atau waspada. PVMBG merekomendasikan masyarakat atau wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius dua kilometer dari kawah. Baca: Aktivitas Gunung Anak Krakatau Cukup Tinggi, Warga Dilarang Mendekat Radius 2 Kilometer Sementara itu, Kemenko Maritim, BMKG, BIG, BPPT, LIPI, dan Badan Geologi ESDM sepakat menyimpulkan tsunami di Selat Sunda bukan disebabkan gempa tektonik. Bencana itu disebabkan adanya longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau. “Tsunami yang terjadi bukan disebabkan oleh gempa bumi tektonik, namun akibat longsor (flank collapse) di lereng Gunung Anak Krakatau akibat erupsi Gunung Anak Krakatau,” demikian penjelasan lewat keterangan tertulisnya, Selasa (25/12). Baca: 7 Poin Kesepakatan Bersama 6 Instansi Soal Tsunami Selat Sunda Citra satelit Sentinel-1 melengkapi keping teka-teki sumber tsunami Selat Sunda yang meluluhlantakkan pesisir Banten dan Lampung, Sabtu (22/12/2018). Rangkaian gambar dari milik European Space Agency (ESA) itu memastikan adanya longsor di lereng barat daya gunung Anak Krakatau. Baca: Begini Penampakan Gunung Anak Krakatau Terekam Satelit Pemodelan tsunami akibat runtuhnya dinding Anak Krakatau sebenarnya pernah dibikin oleh Thomas Giachetti dkk dalam penelitiannya berjudul “Tsunami Hazard Related to Flank Collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia” yang diterbitkan oleh Geological Society di London, Inggris. Baca: Tsunami hazard related to a flank collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia Dalam pemodelan tersebut, dinding Anak Krakatau yang terus tumbuh akan condong runtuh ke sisi barat daya bekas kaldera Krakatau 1883. Jika mengalami keruntuhan material sebesar 0,280 km3 saja, maka dapat memicu gelombang tsunami awal setinggi 43 meter. Gelombang tersebut dalam waktu kurang dari satu menit dapat mencapai Pulau Sertung, Panjang dan Rakata. Gelombang kemudian menyebar secara radial dengan kecepatan rata-rata 80 sampai 110 km/jam dan mencapai pantai barat Jawa dalam waktu 35 sampai 45 menit setelah runtuhan. Kota-kota seperti Merak, Anyer dan Carita bakal terdampak tsunami dengan ketinggian maksimum 1,5 meter (Merak dan Panimbang) hingga 3,4 meter (Labuhan). Menurut Thomas Giachetti, dkk., deteksi cepat dari lembaga observatorium gunung api bersama sistem peringatan di pantai sangat penting dalam mitigasi bencana tsunami akibat runtuhan dinding Anak Krakatau. Gunung Krakatau adalah hasil produk pertemuan antara Lempeng India-Australia dengan Lempeng Eurasia. Dalam tiga kali periode letusan besar Gunung Krakatau sejak pertama kali pada 416 M, letusan ketiga tahun 1883 adalah yang terdahsyat. Gunung ini memuntahkan bahan piroklastika dengan volume lebih dari 18 km kubik. Baca: Peneliti Badan Geologi: Tsunami Selat Sunda Sejak Tahun 416 Penyebabnya Erupsi Gunung Api Bawah Laut Krakatau Erupsi besar ini menyebabkan gelombang tsunami raksasa setinggi 30 sampai 40 meter yang menerjang sepanjang pantai barat Banten dan sepanjang pantai selatan Lampung. Gelombang tsunami terbentuk hanya berselang satu menit setelah letusan besar Krakatau dan kemudian berlanjut di lima belas menit kemudian. Selat Sunda dalam sejarah penelitiannya memang masuk kawasan tsunamigenik. Tsunamigenik adalah kejadian alam yang berpotensi menimbulkan tsunami seperti kegiatan gunung api, gempa bumi, longsoran pantai dan bawah laut. Penelitian Yudhicara dan K. Budiono berjudul “Tsunamigenik di Selat Sunda: Kajian terhadap Katalog Tsunami Soloviev” yang diterbitkan oleh Jurnal Geologi Indonesia menjabarkan tentang potensi tsunamigenik Selat Sunda. Selain karena faktor aktivitas vulkanik gunung Krakatau, tsunami Selat Sunda juga bisa disebabkan akibat dua jenis longsoran. Baca: Tsunamigenik di Selat Sunda Kajian terhadap Katalog Tsunami Soloviev Pertama, longsoran bawah laut (submarine landslide) yang sangat dipengaruhi oleh perbedaan kedalaman dasar laut. Dasar laut Selat Sunda merupakan daerah labil karena berkaitan dengan struktur terban Semangko di antara Tinggian Semangko, Tinggian Tabuan, Tinggian Tanggang dan Tinggian Krakatau. Ketika terjadi guncangan akibat gempa maka berpotensi terjadi longsoran bawah laut. Selain itu, di pantai barat Merak terdapat kelerengan yang cukup terjal dengan pola sesar yang rapat. Diperkirakan, kondisi ini dapat berkembang menjadi bidang longsoran bawah laut aktif saat arus air pada lembah makin kuat. Sedimen akan runtuh dan berpotensi menimbulkan kenaikan muka air meski dalam skala yang kecil dan bersifat lokal. Kedua, adalah potensi tsunami akibat longsoran di pantai. Di wilayah sekitar Teluk Semangko misalnya, didominasi oleh perbukitan landai hingga yang sangat terjal. Beberapa lokasi, seperti Kampung Ketapang dan Kampung Karang Bolong merupakan pantai bertebing. Ketika longsor, berpotensi mengganggu kolom air laut dan menimbulkan tsunami meski dalam skala kecil dan lokal. “Begitu kompleksnya kondisi tektonik Selat Sunda, membuat daerah ini memiliki potensi tsunamigenik yang beragam, yaitu tsunamigenik yang berasal dari gempa bumi yang berkaitan dengan zona subduksi Sunda, erupsi gunung api bawah laut (Gunung api Anak Krakatau), longsoran di kawasan pantai (Teluk Semangko dan Teluk Lampung), dan longsoran bawah laut (submarine landslide) di perbatasan antara perairan Selat Sunda dengan Laut Jawa,” demikian ditulis Yudhicara dan K. Budiono. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: