Terbawa Film Turki
HAMPIR tidak percaya. Ingin kuliah di Turki gara-gara ini: nonton sinetron Turki. Yang dulu banyak disiarkan di Indonesia. Oleh AN-TV. Saya pikir mengada-ada. Tapi Hassanatul Azni tidak sendirian. “Coba unjuk tangan. Siapa yang sama dengan Azni,” tanya saya. Di restoran Malaysia di Istanbul itu. Di lantai atas yang dipenuhi 40 mahasiswa Indonesia itu. Tanggal 1 Januari kemarin sore itu. Azni mengambil studi jurnalistik. Di Universitas Istanbul. Kini sudah tahun ketiga. “Saya terkesan dengan tempat-tempat yang digambarkan dalam sinetron itu,” kata Azni. Saat itu Azni masih di SMA. Lalu mencari bea siswa Turki. Mendapatkannya. “Seandainya tidak dapat pun saya akan tetap kuliah di Turki,” katanya. Ada tiga sinetron Turki yang mengesankannya. Saat ia masih di SMAN 1 Sungai Rumbai. Saya tahu kota kecil itu. Di Kabupaten Dharmasraya. Di pedalaman Sumatera Barat. Saya pernah ke sana. Menyelesaikan kelangkaan listrik di Sumbar dulu. Simaklah keterangan Azni ini. Ia masih hafal judul-judulnya: Cansu dan Hazal. Atau disebut Paramparça. Dengan pemainya: Leyla Tanlar, Alina Boz dan Ebru Ozcan. Lalu sinetron berjudul Shehrazat. Atau Binbir Gece. Dengan pemain Berguzar Korel dan Halic Ergen. Sebenarnya Azni juga suka film Korea. Dan ingin kuliah di Korea. Sudah mulai menghafal beberapa kalimat dalam film Korea. Tapi, katanya, sulit cari bea siswa ke Korea. Selama di Turki Azni juga pernah nonton film Turki. Judulnya “Ayla-the daughter of war”. Film tentang tentara Turki. Yang membantu tentara Korea Selatan. Apa pun alasannya, kini ada sekitar 1.200 mahasiswa Indonesia di Turki. Terbanyak dibanding masa lalu. Peminatnya naik terus. Banyak pula sumber bea siswa. Azni mendapat yang langsung dari pemerintah Turki. Pun yang tanpa bea siswa. Seperti Fikri Khodari. Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Istanbul. Fikri harus cari biaya sendiri. Tidak sulit baginya. Mahasiswa sastra Turki mudah berkomunikasi. Ia sering diminta membantu pedagang Indonesia. Yang kulakan tekstil di sini. Di bidang tekstil Turki memang masih bisa bersaing. Dengan Tiongkok sekali pun. “Selisih harganya sangat tipis. Tapi kualitasnya lebih baik,” ujar Fikri. Belakangan Fikri dapat rejeki tambahan. Saat Rumah Zakat memintanya jadi perwakilan di Turki. Membayarkan sewa apartemennya. Dua kamar. Tambah satu ruang tamu. Untuk empat orang. Pun meski kelak lulus di sastra Fikri bertekad jadi pengusaha. Atau bekerja di kementerian luar negeri. Riza Muarrif, mahasiswa S-3 jurusan Tafsir Quran asal Aceh itu, punya saran: yang akan kuliah di Turki sebaiknya kuat dulu dasar fikihnya. Agar tidak mudah ketularan kultur di Turki. Misalnya, mazhab di Turki itu Hanafi. Beda dengan. Mazhad orang Islam di Indonesia: Syafii. “Berwudlunya tidak seperti kita yang Syafii,” katanya. “Kalau terkena liur anjing mestinya kan dibasuk 7 kali. Yang sekali pakai tanah. Di sini cukup basuh sekali dengan air,” ujar Riza. Demikian juga saat berwudu. Sebelum salat. Basuh tangannya tidak sampai siku. Basuh kakinya tidak sampai tumit. Sedikit-sedikit tayamum. Musim dingin pun dipakai alasan untuk cukup tayamum. (Tayamum adalah berwudu tanpa air. Sebagai jalan darurat kalau lagi tidak ada air). Saya jadi ikut merasa bersalah. Malam sebelumnya saya kedinginan. Suhu udara 0 derajat. Saya tidak berwudu. Saya tayamum. Sudah terlanjur. Di Tiongkok pun saya juga sering begitu. Kalau udara di bawah 0 derajat. Ikut cara orang setempat. Yang mazhabnya juga Hanafi. Atau ketularan tidak salat. Seperti kata Iklil Atros Arfan. Yang lagi kuliah studi Islam. Yang SMS-nya di pondok Al Maarif Singosari. “Di sini banyak yang tidak salat. Alasannya, masih berbuat maksiat,” ujar Iklil. “Jadi,” katanya “orang di sini kalau sudah salat alimnya bukan main.” Kultur di Turki juga jelas: merasa negara hebat. Merasa di atas Arab. Merasa di atas yang lain. Turki memang pernah lama jadi penguasa dunia. Dari Eropa sampai Asia. Sampai-sampai orang seperti Hasanatul Azni ditanya begini: “Apakah di Indonesia ada ice cream?” ujarnya. (dahlan iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: