BPJS Kesehatan: Dana Talangan Pemerintah Rp10,25 Triliun Ludes

BPJS Kesehatan: Dana Talangan Pemerintah Rp10,25 Triliun Ludes

Tugas berat menanti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2019. Sebab, keuangan badan pengelolaan dana jaminan kesehatan itu diprediksi bakal kembali defisit, bahkan lebih parah dibandingkan tahun lalu. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, suntikan dana pemerintah sebesar Rp10,25 triliun pada 2018 sudah ludes untuk menambal defisit keuangan yang disebabkan bengkaknya tagihan di sejumlah rumah sakit. Injeksi itu dilakukan dua kali dengan jumlah sebesar Rp4,99 triliun pada 24 September, serta Rp5,26 triliun pada 5 Desember 2018. “Kan rumah sakit ini pelayanannya berjalan terus. Hari ini diselesaikan, kemudian muncul tagihan baru,” kata Fahmi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/1/2019). Hingga saat ini, Fahmi belum mengetahui berapa sisa tunggakan BPJS Kesehatan tahun lalu. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kata dia, masih melakukan audit sistem secara menyeluruh terhadap BPJS Kesehatan dan mitra rumah sakitnya. “Bulan depan lah, atau akhir bulan ini. Sekarang masih proses audit BPKP berapa sisanya. Saya kira satu persatu dulu lah [penyelesaiannya]” kata Fahmi menambahkan. Sejak tahun lalu, Fahmi sebenarnya sudah bisa memprediksi bahwa keuangan instansinya bakal kembali “berdarah” tahun ini. Nilainya bahkan diperkirakan mencapai Rp16,5 tirliun. Penyebabnya sederhana: jumlah peserta BPJS Kesehatan akan bertambah sehingga frekuensi penggunaan layanan dipastikan meningkat. Fahmi menjelaskan, misalnya, ada 34 dari 1.000 peserta BPJS bakal menggunakan layanan kesehatan dalam sebulan. Dengan proyeksi 216 juta orang peserta pada 2019, maka jumlah peserta yang akan ke rumah sakit tiap bulannya bakal mencapai 9.000 orang.  “Dikalikan saja cost-nya. Ini, kan, biaya. Ada hitung-hitungan aktuaria yang memprediksi semuanya,” kata Fahmi Idris usai rapat bersama DPR, pada 11 Desember 2018. Kepala Bidang Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma\'ruf menyampaikan defisit tersebut juga disebabkan oleh penghitungan yang tak sebanding antara pengeluaran dan pemasukan BPJS. Sebagai gambaran, iuran kelas 3 BPJS Kesehatan secara aktuaria seharusnya sebesar Rp53 ribu, tapi realisasinya hanya Rp25,5 ribu. Demikian halnya dengan kelas 2 yang harusnya Rp63 ribu, tapi ditetapkan sebesar Rp51 ribu. Sementara yang relatif imbang terjadi pada kelas 1 yakni Rp80 ribu. Namun, kata Iqbal, BPJS Kesehatan tidak punya wewenang dalam penyesuaian iuran yang diharapkan sesuai aktuaria tersebut. “Usulan terkait iuran bukan kewenangan BPJS Kesehatan. Itu domain DJSN,” kata Iqbal. Sementara itu, Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyampaikan kondisi keuangan BPJS Kesehatan memang masih besar pasak daripada tiang. Salah satu cara yang bisa dilakukan, kata Nila, adalah menekan frekuensi masyarakat yang sakit dan menggunakan layanan BPJS. Misalnya, memastikan bahwa masyarakat yang menggunakan sanitasi layak terpenuhi 100 persen. “Dari sanitasi tidak terpenuhi, bisa timbul cacingan, kurang gizi, melahirkan anak stunting. Stunting itu, kan, beban [kesehatan]. Jadi, masih banyak yang perlu kami perbaiki,” kata Nila. Sebab, kata Nila, pemerintah hingga saat ini belum berani untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan dengan sejumlah alasan. “Saat ini wacana tersebut [menaikkan premi] sedang dikaji. Iuran tidak mencukupi. Mungkin nanti kami kaji [kenaikan iuran], tapi saat ini, kan, kami belum melakukan. Jadi, ada effort lain yang mesti dilakukan,” kata Nila.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: