KPK Periksa Kwik Kian Gie
Soal Pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI JAKARTA - KPK mulai membuka penyelidikan atas skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL). Lembaga pimpinan Abraham Samad itu menduga adanya tindak pidana korupsi dalam pengeluaran SKL. Untuk mengurai kebijakan itu, kemarin KPK memeriksa Kwik Kian Gie. Kwik yang saat itu menjabat kepala Bappenas di era Presiden Megawati Soekarno Putri dianggap mengetahui permasalahan SKL. Selama sembilan jam sejak pukul 09.00 hingga pukul 18.00, dia dimintai keterangan oleh penyidik. Namun, usai diperiksa Kwik memilih untuk tidak menjelaskan apa pun. \"Undangannya rahasia, pertanyaannya juga rahasia. Jadi, semuanya betul-betul rahasia,\" ujar pakar ekonomi itu. Jawaban serupa juga dia sampaikan saat mulai memasuki gedung KPK. Dia mengaku diminta datang ke KPK untuk urusan yang tidak dijelaskan dalam undangan. Namun, Jubir KPK Johan Budi SP mengatakan kalau tokoh kelahiran Juwana, Pati, Jawa Tengah itu dimintai keterangan atas kasus BLBI yakni pemberian SKL. Kasus itu sendiri menurut Johan, baru dibuka tahun ini dan berbeda dengan kasus BLBI yang telah dikerjakan oleh Kejaksaan. \"Kwik Kian Gie dimintai keterangan terkait penyelidikan dugaan terjadinya TPK (tindak pidana korupsi, red) dalam lanjutan penyelesaian BLBI yaitu pemberian SKL,\" kata Johan. Kasus BLBI terus menghangat karena kebijakannya dinilai merugikan negara. Makin mencuat karena salah satu sosok yang dianggap bertanggung jawab yakni Boediono menjadi wakil presiden Indonesia. Seperti diketahui, saat Megawati memimpin, Menteri Keuangan dijabat oleh Boediono. Januari lalu, Petisi 28 mengadakan diskusi bertema \"Penjara dan Pemakzulan Terkait Fakta Hukum Keterlibatan Boediono dalam Skandal BLBI\". Salah satu kesimpulan dari diskusi itu meminta agar KPK turun tangan menyelidiki skandal BLBI. Bahkan, anggota Komisi III, Ahmad Yani langsung menuding Boediono terlibat. \"Meski KPK tak seindah yang dibayangkan, harapan kita tinggal KPK,\" katanya. Dia juga mengutip putusan Mahkamah Agung No 977, 979, 981 K/Pid/2004 tanggal 10 Juni 2005 yang menyebut Boediono ikut dalam rapat Direksi BI pada 15 Agustus 1997. Inti dari rapat tersebut adalah memberikan bantuan likuiditas dengan fasilitas kelonggaran fasilitas saldo debet kepada kantor pusat atau cabang Bank yang mengalami kesulitan likuiditas, hingga gejolak ekonomi mereda. Pemberian SKL sendiri didasarkan pada Inpres No 8 tahun 2002, serta TAP MPR No 6 dan 10. Hal itu merupakan rangkaian dari penyaluran dana BLBI sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank pada Desember 1998. Audit BPK menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp138 triliun. Mantan Jaksa Agung Hendarman Supanji pernah mengatakan indikasi suap pada pemberian SKL dan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) sulit terdeteksi. Alasannya, pemberian SKL sudah menjadi ketetapan pemerintah sesuai UU No 25/2000 tentang penyelesaian kasus BLBI. Dalam suatu pertemuan dengan DPR pada 2009, Hendarman mengatakan SKL merupakan kesalahan kebijakan masa lalu. Kejaksaan terjepit dengan kebijakan lama dan tidak bisa berbuat banyak. \"Kita tak bisa apa-apa karena sudah kebijakan pemerintah saat itu,\" jelasnya. (dim/nw)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: