Mentan Bidik 1 Juta Millenials: Mungkinkah Generasi Milenial Menjadi Petani?

Mentan Bidik 1 Juta Millenials: Mungkinkah Generasi Milenial Menjadi Petani?

Menurut Mentan, transformasi pertanian dari sistem tradisional menjadi modern berpotensi meningkatkan pendapatan petani hingga Rp 316 triliun per tahun. Menteri Pertanian Amran Sulaiman menargetkan 1 juta generasi millenials  bisa berprofesi sebagai petani. Dengan sistem teknlogi dan modernisasi pertanian yang semakin canggih diharapkan bisa menjadi daya tarik para pelaku usaha muda untuk terjun ke sektor ini. Amran mengklaim sebanyak 400 ribu generasi millenials sudah berprofesi sebagai petani karena ketertarikan pada sistem modern. \"Targetnya tahun ini mudah-mudahan mencapai 1 juta orang,\" kata dia di Jakarta, Senin (14/1). Menurut Amran, transformasi pertanian dari sistem tradisional menjadi modern berpotensi meningkatkan pendapatan keseluruhan petani hingga Rp 316 triliun per tahun. Kementerian Pertanian pun mengatakan telah berupaya mendorong melalui pemberian alat bantu dan mesin pertanian sebanyak 100 ribu unit per tahun. Dia menambahkan, mesin pertanian modern mampu menghemat biaya tanam sebesar 30% atausekitar Rp 8,6 triliun selama setahun. Rendemen padi yang berubah jadi beras pun naik menjadi 9% dengan nilai sebesar Rp 28 triliun. Selain itu, Amran juga menyebutkan bantuan dalam bentuk traktor otomatis, rice processing complex, serta alat penyiangan juga bisa tiga kali lebih cepat dibanding alat tradisional dengan potensi penghematan Rp 7 triliun. \"Mekanisasi adalah kunci pertanian modern,\" ujarnya. Selain bantuan alat dan mesin pertanian, dia menyebutkan pendidikan vokasi melalui politeknik pembangunan pertanian juga jadi acuan menarik minat generasi millenials. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah pendaftar pada 2016 sebesar 1.908 orang, naik menjadi 7.097 orang per 2017. Adapun pada 2018, jumlah peserta  juga disebut meningkat pesat jadi 13.111 pendaftar. \"Pendidikan pertanian itu semakin diminati,\" katanya. Pendidikan vokasi diharapkan mampu mendongkrak daya saing sumber daya manusia pertanian serta mencetak generasi muda yang berorientasi ekspor. Berdasarkan data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, jumlah mahasiswa juga terus meningkat. Mahasiswa pertanian tahun 2010 sebanyak 173.158 orang dan meningkat pada 2018 menjadi 284.259 mahasiswa. Tahun 2025, Amran memprediksi ada sebanyak 536 ribu orang mahasiswa pertanian. Namun, pada 2013, Time menurunkan laporan tentang generasi milenial yang disebutnya pemalas. Generasi ini hanya memikirkan eksistensi diri sendiri, tak mau berusaha, dan bergantung pada teknologi. Laporan Time ini juga menjelaskan jurang pemisah antara generasi muda yang kaya dan miskin. Obsesi pada internet dan juga pengakuan dari orang lain. Joel Stein, kontributor Time membuka artikelnya dengan sebuah racauan, omelan, dan juga tuduhan terhadap generasi milenial. Tapi, Joel mengaku berbeda. Ia tidak sembarang menuduh. Generasi yang ia tuduh pemalas, narsis, dan bergantung pada orang lain itu memang benar adanya. Ia menyertakan data. Ia mengutip data yang menyebutkan jiwa narsis pada kaum muda usia 20-an itu tiga kali lipat lebih tinggi tingkat narsisnya dibandingkan dengan mereka yang berusia 65 tahun. Stein mengutip data National Institutes of Health yang menyebutkan, skala narsisme mahasiswa pada 2009 meningkat hingga 58 persen jika dibandingkan pada 1982. Selain itu, 40 persen milenial merasa dirinya harus naik pangkat setiap dua tahun, terlepas prestasi yang mereka buat. Generasi milenial dianggap pemalas, tanpa capaian, dan enggan bekerja keras. Mereka lebih suka sesuatu yang instan, tidak repot, berdasarkan teknologi, dan dikerjakan tanpa keringat. Generasi milenial menikmati kartu kredit, tapi yang membayar orang tuanya. Ingin mandiri dan dihargai, tapi masih tinggal serumah dengan orang tuanya. Ingin terdidik, tetapi tidak juga lulus kuliah. Tapi pernyataan ini dibantah dengan satir dan komikal oleh Stephen Colbert, host The Late Night Show. Colbert menyebut apa yang dialami oleh Generasi Milenial hari ini merupakan produk kemalasan dari generasi sebelumnya yakni generasi Baby Boomer. Menurut Colbert, generasi Baby Boomer menghabiskan banyak dana subsidi pemerintah, menyedot lebih banyak sumber daya alam, menghasilkan pemanasan global, menciptakan sedikit lapangan pekerjaan, dan citra ideal tentang mimpi melalui produk iklan televisi. Karena egoisme generasi Baby Boomer, generasi milenial mesti menanggung akibatnya. Seperti mahalnya biaya pendidikan, kerusakan alam, tingginya pajak, dan sempitnya lapangan usaha. Untuk itu Colbert mendorong optimisme terhadap generasi milenial yang disebutnya mampu beradaptasi dengan mudah teknologi, kemampuan belajar lebih banyak, dan jejaring yang luas. Obsesi dan tuduhan terhadap generasi setelah kita sebagai generasi yang lebih buruk bukanlah hal yang baru. Majalah New York edisi 23 Agustus 1976 memuat artikel Tom Wolfe yang berjudul \"The \'Me\' Decade and the Third Great Awakening\". Dalam artikel itu, Wolfe menjelaskan bagaimana kebangkitan Amerika pascaperang melahirkan kelompok baru “kelas menengah bawah” menggantikan proletar. Muncul pula anak-anak muda yang ogah berperang dan bekerja lantas memilih mengkonsumsi narkoba jenis LSD sebagai bentuk perlawanan. Sebelum Wolfe, majalah Life pada 17 Mei 1968 menurunkan laporan The Generation Gap, tentang seorang paman dan keponakannya. Laporan ini secara detail memberikan liputan langsung tentang dua orang dari zaman berbeda yang mencoba tradisi dan kebiasaan masing masing kelompok generasi. Ernest Fladell, sang paman mencoba ganja untuk yang pertama kali, sementara Richard Lorber, si keponakan merasakan sudut pandang orang dewasa. Ernest mencoba menjelaskan tentang perang Vietnam, sementara Richard dan kawan-kawan sebayanya berdebat tentang betapa tidak pentingnya perang tersebut. Dua generasi ini memiliki pandangan berbeda tentang kebijakan negara. Pada saat itu banyak anak muda yang menjadi pasif, masuk dalam generasi bunga yang menolak perang. Sementara orang tua mereka yang lahir pada zaman perang dunia ke dua melihat patriotisme dalam perang. Kedua generasi ini seringkali bertikai tentang yang baik dan yang buruk. Generasi tua disebut kolot dan kejam, sementara generasi mudanya disebut pemalas dan tak berguna. Selang 19 bulan setelah artikel Joel Stein di Time itu diluncurkan, seorang jurnalis Huffington, Bobby Caruso menuliskan pandangannya yang berbeda tentang milenial. Caruso menunjukan bahwa apa yang disebut narsisme oleh Time sebenarnya adalah sikap percaya diri. Mengenai tudingan malas, Caruso menjelaskannya dengan mengambil contoh kaum milenial, Emerald Snipes-Garner dan Synead Nichols yang mampu menggerakan 50.000 orang dari media sosial untuk melawan ketidakadilan melalui demonstrasi. Ia seolah ingin berkata, generasi milenial bukan pemalas, dan tentu saja bukan generasi yang bebal. Bagaimana sesungguhnya perilaku milenial ini? ManpowerGroup melakukan riset mendalam tentang stigma terhadap para milenial. Riset kuantitatif dilakukan di 25 negara yang menyertakan 19.000 milenial, termasuk di antaranya 8.000 rekan kerja Manpower Group dan lebih dari 1.500 manajer. Peserta riset ini berusia dari 20-34 tahun. Mereka bertanya tentang apa saja yang diinginkan milenial dan bagaimana mereka memandang pekerjaan. Hasilnya mengejutkan, karena membantah berbagai stereotip yang ada pada milenial. Misalnya, sebanyak 37 persen milenial di Jepang memperkirakan mereka akan bekerja sampai mati. Sementara di Cina, 18 persen milenial mengira akan bekerja sampai mati. Sementara hanya 12 persen milenial di Amerika dan Inggris yang mengira mereka akan bekerja sampai mati. Tidak hanya bekerja sampai mati, mereka memperkirakan bahwa mereka akan bekerja lebih lama daripada generasi sebelumnya. Jika generasi sebelumnya akan pensiun pada usia 65, sebanyak 27 persen para milenial ini memperkirakan diri mereka bekerja sampai usia 70 tahun. Riset ManpowerGroup juga menunjukkan bahwa generasi milenial bekerja lebih keras daripada generasi sebelumnya. Data lain yang mengejutkan adalah 73 persen milenial di dunia bekerja 40 jam seminggu dan seperempatnya bekerja lebih dari 50 jam seminggu. Sebanyak 26 persen di antaranya bekerja lebih dari satu pekerjaan. Tiga perempat milenial yang ikut dalam riset ini menyebut bahwa mereka bekerja penuh waktu. Sementara setengahnya berharap mereka bisa bekerja dengan bentuk lain yang lebih cair. Dalam riset itu juga terungkap jika para 93 persen milenial melihat bekerja sebagai proses pengembangan diri. Mereka menganggap pengembangan kemampuan diri sebagai investasi penting dalam karier. Mereka bersedia membayar mahal dan memberikan waktu luang lebih banyak untuk menguasai kemampuan baru. Hanya 7 persen dari milenial dalam survei ini yang menolak pelatihan sebagai pengembangan diri. Lantas jika demikian, masihkah generasi milenial dapat disebut sebagai generasi pemalas? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: