Nasib Ratusan Pedagang Menggantung

Nasib Ratusan Pedagang Menggantung

CIREBON-Sebagian pedagang Pasar Sumber kecewa. Pasalnya, tidak semua pedagang diakomodir Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kabupaten Cirebon. Selain warga asli, juga puluhan tahun berjualan di Pasar Sumber. Supriyatin (48), pedagang telur pindang dan jamur di Pasar Sumber mengaku tidak mendapatkan lapak di sekitar Pasar Sumber. Meskipun hanya jualan lemprakan, ia sudah berjualan sejak tahun 1971 yang lalu di sekitar area lokasi Pasar Sumber. “Saya ini asli orang Sumber dan sudah berjualan selama puluhan tahun. Tapi, tidak diakomodir oleh Disdagin. Malah saya masuk daftar pedagang cadangan yang tidak mempunyai lapak. Terus saya mau berjualan di mana?” ujar Supriyatin kepada Radar Cirebon, Senin (18/2). Menurutnya, kebijakan pemerintah daerah melalui Disdagin yang memperbolehkan pedagang lemprakan masuk ke dalam area pasar, akan menimbulkan polemik baru. Sebab, pedagang lemprakan yang ada di dalam bangunan pasar akan keluar dan memilih berjualan di luar. Apalagi, pedagang lemprakan yang ada di lantai dua. “Kebiasaan pedagang seperti itu. Karena pembeli akan memilih penjual yang lebih dekat,” tuturnya.Dia mengaku kecewa dengan sistem pengelolaan pasar. Padahal, sebelum Pasar Sumber kebakaran, dia selalu membayar retribusi kepada petugas pasar dan itu berlaku kepada setiap pedagang. Bukan hanya pemilik kios, los maupun lemprakan. Ditambah, ada penarikan biaya sewa bagi pedagang lemprakan yang baru sebesar Rp60 ribu oleh Ikatan Pedagang Pasar Sumber (IPPS). “Kita sudah bayar. Tapi, tetap tidak dapat lapak. Kecewa mah jelas kecewa. Orang asli Sumber dan berjualan sejak tahun 71 tidak diakomodir. Padahal, saya pegang surat merah (surat sewa, red) dari Disdagin,” imbuhnya. Senada disampaikan pedagang lainnya, Ely (50). Dia juga mengaku kecewa dengan Disdagin. Sebab, ia tidak mendapatkan lapak jualan di dalam komplek pasar. Padahal sudah dapat nomor undian. “Sudah dapat undian. Tapi, urutan 771. Urutan itu masuknya pedagang cadangan. Ini kayak main bola aja ada cadangan,” tutur warga Perbutulan itu. Kondisi yang demikian ini, kata Ely, nasibnya dan para pedagang lain dalam mengais rezeki oleh pemerintah daerah seolah digantung. Ely paham betul mana pedagang lama dan pedagang baru. Mayoritas banyak wajah baru yang berjualan di Pasar Sumber. “Kita pedagang lama tidak diakomodir, kalau bayar ya harus bayar berapa? Apa kita kalah di uang? Kalau pun harus bayar untuk dapat lapak saya bayar, seumpama harus bayar Rp1 juta, kita juga siap,” ungkap Ely yang juga pedagang kolor itu. Dia mengungkapkan, uang Rp60 ribu yang rencananya untuk lapak di pinggir jalan, sampai saat ini pun belum dikembalikan. Jika ditotal sekitar Rp47 juta dari jumlah pedagang yang sudah membayar Rp60 ribu untuk lemprakan. “Kita sih pengennya tetap jualan dan diakomodir di dalam pasar,” pungkasnya. Sebelumnya, Kabid Pengelolaan Pasar Disdagin Kabupaten Cirebon, Eka Hamdani kepada Radar Cirebon mengatakan, dari 769 pedagang lemprakan yang ada, hanya 557 pedagang yang diakomodir. Sisanya, sekitar 212 pedagang diketahui hanya menjualbelikan lapak. Sehingga, pihaknya tidak mengakomodir. Berdasarkan perintah dan kebijakan pimpinan, pedagang lemprakan atau PKL diakomodir untuk berjualan di area Pasar Sumber. Tapi, pihaknya menentukan waktu berdagang para pedagang lemprakan yang berdagang di area parkir Pasar Sumber. “Agar tidak mengganggu yang lainnya, maka kita terapkan aturan batasan waktu berjualan bagi pedagang lemprakan. Yakni, dari dini hari sampai jam 7 pagi. Jadi, jam 7 pagi sudah tidak ada lagi pedagang lemprakan yang berjualan,” singkatnya. (sam)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: