Walhi Ungkap Menko Darmin Keliru Soal Konservasi 22,1 Juta Ha
Manajer Kajian Kebijakan Walhi, Even Sembiring mengatakan Menko Perekonomian, Darmin Nasution keliru mengenai sejumlah data yang dipaparkan dalam siaran pers bersama Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Pasalnya, dalam rilis 4 Februari itu, Darmin menyebutkan Indonesia memiliki 22,1 juta hektar kawasan hutan yang disiapkan untuk konservasi. Namun, Walhi meragukan jumlah lahan konservasi tersebut. Belum lagi, sejak Inpres No. 8 Tahun 2018 tentang moratorium kelapa sawit dikeluarkan, aturan dalam PP 104/2015 yang memungkinkan alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan masih memberi ruang bagi perizinan yang diterbitkan sebelum Inpres terbit. “Ada kebohongan yang disampaikan bahwa 22,1 juta hektar kawasan hutan untuk konservasi. Kita lihat apa benar memang untuk itu. Dia harus jujur soal ada 2 juta hektar kawasan hutan yang jadi sawit,” ucap Even dalam konferensi pers tanggapan Walhi terhadap siaran pers Kemenko Perekonomian di Eksekutif Walhi Nasional pada Rabu (20/2/2019). Manager kampanye pangan, air, dan ekosistem esensial Walhi, Wahyu Perdana pun menambahkan bahwa dampak yang ditimbulkan kelapa sawit dari sisi lingkungan lebih besar dari manfaat yang diharapkan soal minyak nabati. Walaupun sawit diklaim lebih efisien dibanding tanaman lain seperti bunga matahari dan kedelai, dampak sawit terhadap lingkungan tetap tak dapat diabaikan. Ia mencontohkan dalam riset itu sebenarnya disebutkan bahwa 50 persen kelapa sawit di Indonesia dan Afrika bertanggung jawab terhadap deforestasi. Sementara itu, IUCN justru mencatat bahwa keragaman pohon dan tanaman di area sawit turun hingga 99 persen. Sama halnya dengan keragaman hayati di fauna yang mengalami penurunan 65-90 persen terkhusus di wilayah Asia. Selain itu, Wahyu juga mendapati bahwa selain peningkatan emisi gas rumah kaca dari pembukaan lahan, pertanian kelapa sawit sendiri juga melepas sejenis gas rumah kaca yang lebih besar. Bahkan ia menyebutkan dampaknya terhadap pemanasan global 265-289 kali lebih tinggi dari CO2. “Proses pertaniannya sendiri saja menimbulkan pemanasan global,” ucap Wahyu. “Mungkin Pak Menko perlu membaca risetnya dulu sebelum menyampaikan keterangan,” tambah Wahyu. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: