Guru Harus Gemar Membaca, Siswa Wajib Membaca (Sastra)

Guru Harus Gemar Membaca, Siswa Wajib Membaca (Sastra)

Geliat literasi terus disebarkan hingga seluruh penjuru negeri. Tampaknya gerakan literasi menjadi jurus ampuh untuk meningkatkan kualitas SDM terutama dengan mendongkrak keterampilan minat baca yang masih tertinggal jauh. Ini tentu menjadi energi positif yang hadir di tengah era gawai milenial. Baiknya lagi, GLN berbeda dengan program pemerintah sebelumnya, khususnya program yang lahir dari tubuh Kemdikbud. Misalnya program Bermutu, Pakem dan lainnya. Program tersebut bagus secara konsep. Bahkan dalam pelaksanaan di lapangan bisa dikatakan meriah alias berhasil. Tetapi apa yang terjadi? Program tinggal program. Saat tidak ada lagi \"anggaran pemasok\" program tersebut juga terhenti. Ini menandakan program-program itu hanya dipaksakan dari atas ke bawah. Di sisi bawah, dalam hal ini sekolah dan guru diwajibkan menjalankan sebuah agenda yang telah dirancang. Alhasil mereka hanya sebatas menggugurkan tugasnya. Menjalankan apa yang harus jalankan. Melaksanakan apa yang diperintahkan. Hal ini berbeda dengan Gerakan Literasi Nasional yang kian semarak. GLN juga program yang kembali lahir dari Kemdikbud. Dengan aturan dan pedoman yang jelas dan terukur, GLN dibagi menjadi GLS (Gerakan Literasi Sekolah), GLM (Gerakan Literasi Masyarakat), dan GLK (Gerakan Literasi Keluarga). Perbedaannya, program GLN ini melibatkan semua unsur atau elemen masyarakat. Tidak hanya sekolah atau guru yang harus melaksanakan program, tetapi literasi dibangun dari unsur terkecil dalam masyarakat yakni keluarga. Hebatnya lagi, keresahan tentang literasi disambut baik oleh banyak akar rumput. Terbukti saat ini semarak lahir dan berkembang komunitas literasi, taman baca masyarakat (TBM), sudut baca, donasi buku, pustaka bergerak dan lain sebagainya dengan keunikan dan kreatifitas masing-masing. Gerakan literasi tumbuh dari unsur terbawah masyarakat yang memiliki keresahan sama. Ingin melakukan sebuah perubahan, jengah dengan apa yang telah ada, ingin berbuat sesuatu bagi sesama agar lebih kaya akan ilmu, keterampilan, kompetensi yang akhirnya bisa mencetak SDM unggul yang bisa berkarya, berdaya, serta mampu bersaing. Sesuai dengan visi literasi membangun insan literat. Lalu, kenapa gerakan literasi terus membumi? Alasan yang paling mendasar adalah karena rendahnya minat baca. Rendahnya mutu pendidikan. Berdasarkan survei PISA, CCSU. Indonesia menempati peringkat 60 dari total 61 negara dengan minat baca rendah. Hasil lain, peringkat Indonesia selalu berada di urutan jeblok soal pendidikan jika dibanding dengan negara lain. Penilaian PISA Tahun 2015, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi 62 dari 72 negara. Padahal Indonesia merupakan negara dengan anggaran pendidikan besar yaitu sekitar 20 persen, atau berada di nomor 4 dari 69 negara. Sistem pendidikan dasar dan menengah di Indonesia dianggap belum mampu menyiapkan siswa untuk berfikir kritis, analitis, atau belum menginspirasi para siswa agar mau mengejar cita-cita menjadi peneliti dalam bidang apapun. Akibatnya sulitnya SDM serta badan, perusahaan baik negeri maupun swasta untuk bersaing dalam kompetisi global. Permasalahan tersebut diawali karena rendahnya minat baca. Budaya membaca masih menjadi angan-angan yang terlalu sulit diwujudkan, padahal tingginya minat baca masyarakat menandakan tingginya kualitas suatu bangsa. Hal tersebut menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Salah satu formula yang dihadirkan untuk mengenjot ketertinggalan adalah dengan adanya Gerakan Literasi Sekolah. GLS memiliki tiga tahapan yaitu pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Tahan pembiasaan menjadi bagian yang sangat penting. Pembiasaan membaca 15 menit sebelum pembelajaran dimulai merupakan pondasi dasar agar siswa-siswi mulai gemar membaca, memiliki daya tarik untuk bersahabat dengan buku, menjadikan buku dan bacaan sebagai arus lalu lintas yang terbiasa di tiap kepala siswa. Tahap pembiasaan ini adalah tahap terpenting dalam membangun budaya baca. Bagaimana dengan guru dan siswa? Guru adalah orang yang berdiri paling depan dalam hal mencerdaskan anak bangsa. Kualitas guru juga sangat menentukan baiknya kualitas pendidikan. Namun sangat disayangkan, hingga saat ini masih banyak guru-guru yang tidak gemar membaca. Miris memang, jika guru saja tidak gemar membaca lalu bagaimana dengan muridnya? Jika guru tidak gemar membaca, bagaimana ia meningkatkan kompetensinya, memberikan pengetahuan juga inovasi baru kepada anak didiknya? Bukankah dasar segala ilmu bersumber dari buku, dan cara memahaminya tentu dengan membaca. Terlalu lama rasanya berada di zona nyaman. Saat ini kita menyongsong era revolusi industri 4.0. Sudah saatnya ada aturan yang mewajibkan guru untuk membaca buku tertentu (buku pedoman misalnya) kemudian membuat ulasan, review, atau resensi dari buku tersebut. Tujuannya jelas meningkatkan level para pendidik. Agar lebih kritis, lebih memiliki keterampilan dan pengetahuan yang tentu akan sangat bermanfaat untuk diberikan pada anak didiknya di sekolah. Bisa juga kegiatan mewajibkan guru membaca buku tertentu untuk mendapat nilai angka kredit guna menunjang kenaikan pangkatnya. Intinya adalah para pendidik harus gemar membaca untuk mendukung kompetensinya. Mewujudkan guru yang cerdas, kaya akan ilmu pengetahuan, serba bisa, digugu dan ditiru. Pendidik yang ditunggu kehadirannya bagi siswa, karena ilmunya terus meresap banyak dalam benak hingga lama, mungkin selama-lamanya. Tidak hanya guru, ini berlaku juga bagi siswa. Sepanjang kemerdekaan, sistem pendidikan kita belum mewajibkan siswa membaca buku tertentu (sastra misalnya). Taufik Ismail salah satu sastrawan besar Indonesia pernah menulis, “Tragedi Nol Buku.” Penelitian yang dilakukan Taufik Ismail, SMA di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Brunei masing-masing mewajibkan siswanya membaca 5 hingga 7 buku sastra dalam rentang waktu tiga sampai empat tahun. Rusia 12 buku sastra, Kanada 13 buku sastra, Jepang dan Swiss 15 buku sastra, Perancis dan Belanda 30 buku sastra yang wajib dibaca oleh siswanya. Bagaimana dengan Indonesia?  Dalam satu tahun, berapa jumlah buku sastra yang harus ditamatkan siswa? Nihil. Kita belum memulai ini! Dari penelitian tersebut, yang paling mengejutkan adalah membaca buku sastra tidak disebut dalam kurikulum, tidak ada keharusan membuat resensi, ulasan buku, dan tidak diujikan atau diangkap nol. Membaca buku sastra sangat berpengaruh positif bagi para siswa. Sastra menanamkan ketagihan bagi penikmatnya, sastra menanamkan kecintaan bagi pembacanya. Jika sastra adalah misteri, misteri itu akan masuk dan tetap ada dalam diri generasi bangsa. Dalam karya sastra banyak nilai-nilai yang tidak bisa diucapkan, tetapi akan meresap dalam ingatan pembacanya. Memupuk keterampilan baca, melatih berfikir kritis, meningkatkan imaji, kemampuan komunikasi, analisis, empati, menilai sesuatu, menyelesaikan masalah dengan mengambil keputusan yang tepat dan cepat menjadi output yang diharapkan jika hal ini telah berlaku. Terlebih mewajibkan siswa membaca buku sastra tertentu juga menjadi solusi untuk membangun generasi yang gemar membaca pun mencintai sastra itu sendiri. Apalagi perintah membaca adalah perintah pertama yang langung diturunkan Tuhan pada Nabi-Nya. Jangan menunda lagi. Saat ini atau tidak sama sekali! Penulis: Adi Tama, Guru SDN Larangan 2 Kota Cirebon  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: