Meski Tak Ada Latihan, Muazin Azan Pitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa Selalu Kompak

Meski Tak Ada Latihan, Muazin Azan Pitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa Selalu Kompak

CIREBON-Azan pitu selalu menghadirkan kesan tersendiri. Untuk mereka yang mengikuti salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Nadanya, berbeda dengan Azan yang sehari-hari kita dengar. Dilantunkan tujuh orang bersamaan. Bagimana persiapannya? Matahari belum juga tinggi. Namun suasana di Masjid Agung Sang Cipta Rasa mulai ramai dengan hiruk pikuk warga. Padahal salat Jumat baru dilaksanakan menjelang tengah hari. Di Jumat tertentu, salat Jumat di sini memang lebih ramai. Jamaahnya tak hanya warga setempat. Banyak juga yang datang dari luar kota. Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini, menjadi bagian dari perjalanan religi buat mereka. Sedangkan saya, punya tujuan sendiri. Menyaksikan bagaimana para Muazin bersiap. Ya, Muazin Azan pitu. Tradisi khas di masjid yang didirikan para wali. Azan dengan tujuh orang ini, hanya ada satu di Cirebon. Tidak ada duanya. Karena kekhasan inilah, tradisi Azan Pitu seringkali didokumentasikan dalam ragam penulisan. Namun jarang yang mengulas dari sisi bagaimana para muazin ini bersiap. Demi momen itu, Jumat yang lalu saya sudah datang pagi-pagi. Tapi baru sekitar pukul 10.00 para Muazin ini berdatangan. Datangnya satu-satu. Tak perlu lagi janjian. Karena sudah tahu waktu dan terjadwal. Tak ada persiapan yang istimewa. Juga tak ada latihan menyamakan nada. Langgam. Semuanya sudah paham tugas masing-masing. Ini memungkinkan terjadi karena muazin Azan Pitu ini turun temurun. Bukan hanya personelnya. Tapi juga cara melafalkannya. Ustadz Fatoni, Adnan, Ismail, Zaenal, Bajuri, Apud dan Munadi, siang itu yang bertugas. Mendekati waktu dzuhur, mereka mulai mengambil wudhu. Kemudian mengenakan sorban hingga jubah putih. Tapi di pekan sebelumnya yang bertugas menggunakan jubah hijau. Pakaian putih menjadi penanda petugas kaum yang melantunkan Azan Pitu itu dari Keraton Kasepuhan. Petugas kaum Keraton Kanoman yang melakukan Azan Pitu biasanya mengenakan gamis hijau. Para muazin ini mulai bersiap diri sekitar pukul 11.20 WIB. Begitu waktu salat kian dekat, barulah mereka masuk ke dalam masjid. Sudah ada shaf khusus. Persis di tengah masjid. Mereka kemudian memimpin jamaah salat bersalawat. Sampai masuk waktu salat. Tujuh muazin itu berdiri berjajar sambil menempelkan kedua tangan di samping telinga. Barulah dimulai azan yang dilakuan tujuh orang ini berkumandang. Suara yang dihasilakan berbeda dari azan salat baisanya. Salah satu muazin, Ismail menyebutnya bak paduan suara. “Sebetulnya nggak ada nadanya,” ucap dia, yang berbincang dengan koran ini sebelum menunaikan tugasnya. Muazin Azan Pitu ini tak pernah berlatih untuk menyamakan nada. Mereka sudah memahami satu sama lainnya. \"Yang penting panjang pendeknya sama,\" Lanjut Ismail. Secara struktural, ada kepengurusan kaum yang ditunjuk di Masjid Sang Cipta Rasa. Dari Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Pengurus kaum itu untuk rutinitas sehari-hari 24 orang. Kepala kaum-nya ada dua orang. Dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman. Ditambah juga petugas imam rawatib ada empat. Syamsuri, salah satu petugas kaum menyebutkan, jumlah pengurus ini 30 orang. Azan Pitu bukan sekadar tradisi yang diturunkan sejak Sunan Gunung Jati. Memiliki nilai spiritual di dalamnya. Yang mengumandangkan azan bukan sembarang orang. Pertama, tentu saja syaratnya dia harus menjadi petugas kaum di Masjid Sang Cipta Rasa. Menjadi petugas kaum biasanya turun temurun. Tapi kalau tidak ada yang melanjutkan, biasanya mencari kerabat atau orang yang berada di sekitar Masjid Agung. Sama dengan tradisi lain, azan pitu punya sejarahnya tersendiri. Yang berhubungan saat Sunan Gunung Jati mendirikan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Sejak abad ke-14 Masehi Azan Pitu sudah dikumandangkan. Khusus pada Salat Jumat. Azan ini dimulai ketika adanya kisah menjangan gulung yang menyebarkan racun di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Adanya racun yang disebarkan tersebut membuat para jamaah ketakutan datang ke masjid. Hingga racun itu membuat salah satu muazin meninggal dunia. Racun itu disebut disebarkan untuk menguji kedigdayaan Sunan Gunung Jati yang tersohor itu. Guna menangkal racun tersebut, Sunan Gunung Jati menyuruh tujuh santrinya mengumandakan azan secara bersamaan. Dari situlah, Azan Pitu dikumandangkan saat Salat Jumat sebagai upaya untuk tolak bala. Lalu terus bertahan hingga saat ini. Selain melestarikan tradisi yang sudah turun temurun, ada tugas mulia yang diemban muazin. Tugas itu tentu saja memanggil jamaah untuk melaksanakan salat. Munadi misalnya. Menjadi Muazin azan pitu baginya adalah kebanggaan. Dia mengatakan azan pitu tak bedanya dengan azan lainnya. Hanya saja, Azan Pitu hanya menggunakan satu nada. Tak ada lenggak-lenggok atau nada yang meliuk-liuk. “Semua suara satu nada,” kata dia. Pelaksanaan Azan Pitu sendiri dilakukan saat azan pertama. Sementara untuk azan kedua, hanya dilakukan satu orang. Setelah azan, pertama jamaah melakukan salat sunah rawatib. Baru mengumandangkan azan lagi yang kedua. Lalu khatib naik ke mimbar. Dalam penyampaian Khutbah Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa sendiri memakai Bahasa Arab. Salah seorang imam Masjid Sang Cipta Rasa KH Abd Latief menegaskan, tradisi ini akan dipertahankan sampai kapan pun. Sesuai dengan amanah dari Sunan Gunung Jati, ingsun titip tajug. ”Titip tajug di sini, ya masjid ini. Bukan hanya bangunannya saja, tetapi mencakup adat istiadat yang ada di keraton dan Masjid Agung ini,” tandasnya. (okri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: