Demi Kekuasaan, Mengudeta Takhta Tuhan

Demi Kekuasaan, Mengudeta Takhta Tuhan

DI tahun politik, perebutan jabatan strategis politis menjadi perhatian dan orientasi. Bahkan “jihad” sebagian masyarakat bangsa ini. Dan salah satu media dan tangga untuk memuluskan itu semua adalah upaya untuk mendominasi pesan-pesan ketuhanan. Maka takhta Tuhan menjadi perebutan bagi peserta kontestan capres dan cawapres, serta caleg-caleg. Di Indonesia, akhir 2016 dan awal 2017, hubungan masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dan negara mengalami gesekan yang luar biasa dominan didasarkan atas argumen-argumen pemahaman agama dan politik. Hal ini karena terkait dengan persoalan agenda pergantian kepempimpinan di daerah-daerah, khususnya DKI Jakarta. Isu-isu yang didasarkan atas pemahaman agama menjadi seksi. Karena bangsa ini secara normatif masih memandang agama menjadi hal yang sakral dan penting dalam hidupnya. Semantara dunia politik dipandang sebagai sebuah kehidupan riil yang tidak terlepas dengan argumen-argumen agama. Maka, perjuangan politik dengan mengatasnamakan agama masih mendapat perhatian besar masyarakat. Bahkan sebagian mereka meyakini perjuangan politik adalah bagian dari keyakinan agamanya. Karena keyakinan ini, beberapa kegiatan aksi bela negara dan Islam  di Jakarta terlaksana sampai tiga kali dengan memanfaatkan momentum isu penistaan agama terhadap calon gubernur incumbent Ahok. Isu penistaan agama yang dialamatkan ke Ahok, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka terkait dengan persoalan politik dan agama. Dan di tahun politik ini, tampaknya modus yang sama akan  menjadi media pertarungan capres-cawapres serta caleg-caleg. Agama untuk Manusia Ketika kekerasan, permusuhan, bahkan perang mengatasnamakan agama, dan banyak dilakukan orang yang secara simbolik tampak beragama dan ahli agama, maka kemudian manfaat agama dipertanyakan bagi kehidupan manusia. Atau paling tidak muncul pertanyaan apa yang diajarkan agama tentang kehidupan ini? Pertanyaan ini muncul bukan hanya dari orang yang sedikit mengenal agama, tetapi juga orang yang sudah banyak mengenal agama. Bagaimana mungkin agama mengajarkan bahwa Tuhan yang pengasih dan penyanyang, dan Rasul-Nya yang ramah dan lembut menginspirasi orang, berbuat kekerasan dan permusuhan. Maka yang paling mungkin adalah pemahaman agama mereka yang bermasalah. Bukan agamanya. Pemahaman orang tentang agama tidak terjadi secara linier, tetapi selalu mengalami proses, bahkan harus berliku-liku. Dalam kajian sosiologi agama, paling tidak ada tiga tahapan perkembangan pemahaman agama; pertama, pemahaman yang bersifat mitologis. Yaitu pemahaman agama yang didasarkan atas mitos, cerita dari nenek moyang dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi tanpa referensi yang jelas. Pemahaman agama seperti ini menyatu dengan tradisi dan budaya masyarakat. Bahkan terkadang sulit membedakan mana agama dan tradisi budayanya. Kedua, ideologis. Yaitu perkembangan pemahaman agam yang didasarkan pada kecenderungan yang tunggal. Menganggap pemahaman agamanya yang satu-satunya benar. Hal ini terjadi karena sebagian masyarakat hanya belajar satu sisi dan jenis pemhaman agama. Serta menutup diri dengan model pemahaman agama yang lain dan berbeda. Dan, ketiga adalah perkembangan pemahaman yang cenderung logis. Yaitu pemahaman agama yang didasarkan atas argumen-argumen rasional, dengan mempertimbangkan refernsi-referensi ilmu pengetahuan. Dari perkembangan pemahaman agama yang bersifat mitologis, ideologis dan logis, masyarkat kita masih banyak didominasi pemahaman mitologis dan ideologis daripada logis. Buktinya, organisasi massa (ormas) atau partai yang disandarkan tokoh-tokoh masa lalu yang dianggap berpengaruh di negeri ini dan ideologi agama, masih menjadi pilihan masyarakat daripada yang dikelola secara kekinian dan rasional. Pemahaman agama secara ideologis cenderung meminimalkan peran akal dan memosisikan diri atas nama Tuhan. Dari sini, mereka mulai mengudeta takhta Tuhan, dan menggunakannya untuk menjustifikasi segala kepentingannya. Etika Penyambung Kalam Tuhan Demi kepentingan dunianya, kini banyak orang yang berusaha keras untuk mengudeta takhta Tuhan, dan menggunakannya untuk mejustifikasi dan memuluskannya. Status mulia sebagai ahli agama, tokoh agama ataupun lainnya yang sederajat dengannya hanya sebagai mahluk yang diberi kepercayaan masyarakat untuk menjadi mediator atau penyambung kalam Tuhan. Sehingga dengan status itu diharapkan mereka betul-betul merepresentasikan imajinasi kemuliaan Tuhan kepada umat manusia. Meskipun sebagai mahluk mulia yang diharapkan mempunyai kemampuan untuk memahami pesan-pesan Tuhan yang tertulis dari kitab suci ataupun yang tidak tertulis melalui isyarat realitas alam semesta, posisi dan kompetensi mereka tidak bersifat absolut, apalagi sakral yang tidak tersentuh perbedaan pendapat dengan yang lain. Mereka hanya berkemampuan untuk berusaha memahami “kehendak pesan-pesan Tuhan”,  yang mungkin benar dan mungkin salah. Kenyataan ini, para ulama dulu memberikan panduan sederhana bagi tokoh agama, mubalig, dai dan lainnya yang hendak menyampaikan ayat-ayat Tuhan. Biasanya diawali dengan kalimat “wallahu a’lam bi muradihi” yang artinya, hanya Allah yang lebih mengetahui atas kehendak-Nya dan diakhiri dengan kalimat  “wallahu a’lam bi al-shoawab” yang artinya, Allah lebih mengetahui akan kebenaran firman-Nya. Apa maksud dari dua kalimat kejujuran dan kerendahan diri ini? Dua kalimat ini adalah wujud dari kesadaran ulama akan keterbatasan keilmuan mereka untuk memahami kehendak Tuhan yang sesungguhnya. Baik yang tertulis dalam kitab suci maupun yang tersirat dalam realitas alam semesta. Dengan dua kalimat ini juga menunjukan, tidak ada orang yang berhak untuk mengakui bahwa diri seseorang lebih mengetahui kehendak Tuhan dalam pesan-pesan kalam-Nya atas yang lain. Tokoh agama atau ahli agama hanya bisa menyampaikan apa yang mereka pahami dari pesan-pesan Tuhan yang bersumber dari Kitab Suci. Bukan kalam Tuhan yang sesungguhnya yang absolut dan sakral. Maka, ketika ada sebagian mereka yang “merasa” sebagai tokoh agama atau “dianggap ahli agama” yang hanya sebagai penyambung kalam Tuhan, yang nilai kebenaran pesan-pesannya bersifat relatif, kemudian memoisikan diri sebagai sumber kebenaran mutlak dengan mengatasnamakan Tuhan, ini berarti mereka sudah mengudeta takhta Tuhan yang absolut. Menjelang Pemilu 2019 ini, banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan masyarakat pendukung capres-cawapres dan caleg-caleg untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Secara individual ataupun kolektif. Dengan menghalalkan segala cara (the aim justifies the way), bahkan dengan mengatasnamakan “Tuhan”. Penyalahgunaan wewenang (abusement of power) manusia terbesar sekarang-sekarang ini adalah manusia memosisikan diri sebagai Tuhan. Dengan kehormatan status sebagai orang yang “merasa” menjadi tokoh agama atau yang “dianggap” ahli agama yang hanya sebagai penyambung kalam Tuhan, yang nilai kebenaran pesan-pesannya bersifat relatif. Kemudian memoisikan diri sebagai sumber kebenaran mutlak dengan mengatasnamakan Tuhan. Ini berarti mereka sudah mengudeta takhta Tuhan yang absolut. Dan ini adalah musibah besar bagi kehidupan manusia sekarang dan yang akan datang. (*) *Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: