Superman Syndrome Iklan Politik, Sampah Visual dan Kenakalan di Ruang Publik

Superman Syndrome Iklan Politik, Sampah Visual dan Kenakalan di Ruang Publik

CIREBON-Penertiban alat peraga kampanye (APK) yang bertubi-tubi, tidak berbanding lurus dengan pengurangan pelanggaran di ruang publik. Pada titik ini, peribahasa mati satu tumbuh seribu seakan mendapatkan pemakluman. Sejatinya, iklan politik dihadirkan sekadar menjadi alat bantu untuk menyosialisasikan gagasan para calon politisi kepada masyarakat. Tetapi, keberadaan iklan ini justru menjadi salah kaprah. Para calon legislatif, juga calon-calon elit politik lainnya, terjebak pada satu cara promosi. Memposisikan dirinya bak Superman. Yang mampu mengatasi segala masalah. Dalam bukunya berjudul De Ka Ve, Desain Komunikasi Visual Penanda Zaman Masyarakat Global, Sumbo Tinarbuko menyebut fenomena ini sebagai Superman Syndrome. Padahal, realitas di lapangan menilai, cara kampanye semacam ini kurang efektif. Belum lagi tampilan komunikasi visual atas desain APK mendorong matinya ilmu komunikasi visual di ranah industri kreatif iklan luar ruang. Selain kurang efektif, cara kampanye mengandalkan pemasangan APK memunculkan dampak visual iklan politik di ruang publik. Akibat lainnya, sebagian masyarakat mulai resah. Dengan pemasangan APK yang membabi buta. Di pohon. Tiang listrik. Sudut pengkolan dan melintang di jalan raya. “APK cenderung menjadi sampah visual. Itu diyakini nyepeti mata,” tulisnya. Secara sosial, Sumbo yang juga Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta menyebut, masyarakat berhak untuk mendapatkan kota yang ramah visual. Ramah pada mereka sebagai calon pemilih. Dan kampanye yang ramah lingkungan. Terabaikannya hak publik ini, dikhawatirkan justru menilbulkan respons yang kurang simpatik dari masyarakat. SEMANGAT NARSISME Dari sisi periklanan, Sumbo juga menilai, iklan politik masih berkutat pada semangat narsisme. Hasrat yang didedahkan lewat senyuman. Meski realitas sosialnya telah memerahkan mata. Mereka sejatinya sedang mengadu nasib. Yang dalam prosesnya cenderung merampas ruang publik. Mengabaikan ergonomic tata kelola pemasangan media luar ruang dan tidak mengindahkan dogma grafis kota. Semangat narsisme yang dikumandangkan terlihat secara gamblang. Penandanya, di sepanjang jalan banyak bertebaran senyum manis. Santun. Berwibawa dan kesan agamis. Padahal diyakini, saat ini ada kejenuhan masyarakat dengan iklan politik yang ditancapkan di seantero ruang publik. Yang berlomba dengan beragam ukuran. Juga secara kuantitas. Kejenuhan ini juga muncul karena iklan politik yang tampil paritas. Dengan menyampaikan monotisme pesan verbal-visual. Pesan visual yang berbentuk tampilan wajah dengan senyum narsis. Ganteng, cantik, cerdas dan agamis. Sedang pesan verbal berupa janji berwujud: jagat instruksional berbentuk tebaram kalimat manis. Yang ujung pangkal dari pesan verbal itu adalah “instruksi” kepada pemilih: Pilihlah saya, dengan nomor urut sekian, dari partai politik nomor sekian. Dalam analisa dan pemikiran Sumbo, kegagalan dan vandalisme iklan politik ini lahir akibat kegagalan menjahit jagat simbolisasi dan dunia subtansi. Sehingga iklan politik luar ruang ini mestinya memperhatikan ekologi visual dan mengedepankan moralitas. (yud)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: