Soal Posisi Sekda, Jangan Bawa-bawa Tim Sukses

Soal Posisi Sekda, Jangan Bawa-bawa Tim Sukses

MANTAN Ketua Tim Kampanye Gabungan Ano-Azis, Pandji Amiarsa SH MH, angkat bicara terkait perilaku dan tindakan sejumlah pihak yang mengklaim sebagai tim sukses (timses) Ano-Azis dan mempersoalkan posisi sekda yang notabene menjadi kewenangan kepala daerah. Pandji menilai pandangan-pandangan yang mengemuka tentang posisi sekda dalam pemberitaan belakangan ini merupakan pandangan pribadi. “Jadi tidak tepat rasanya bila saran dan masukan itu dianggap sebagai tim sukses,” ujarnya kepada Radar. Menurut Pandji, persoalan jabatan sekda merupakan wewenang wali kota dan wakil wali kota sebagai pendampingnya. Sehingga, lanjut dia, siapa pun, tidak dapat mengintervensi untuk memengaruhi sikap dan pendirian wali kota. “Saya melihat wali kota dan wakil wali kota tetap terjaga kekompakannya, sehingga semua pihak yang dulu ada dalam timgab Ano-Azis wajib menjaga kekompakan Ano-Azis serta mendukung langkah perubahan,” tukasnya. Adapun berbagai masukan atau pandangan perorangan yang dilakukan oleh sejumlah pihak, kata Pandji, hal itu wajar dan boleh-boleh saja dilakukan. Namun, kata dia, hal tersebut harus disampaikan dengan cara yang tepat dan santun serta beretika. “Sehingga tidak menyulut konflik. Dan juga pandangan dan saran tersebut idealnya disampaikan dengan tidak mengatasnamakan tim sukses. Karena secara organisasi maupun tugasnya, saat ini belum ditetapkan lebih lanjut,” tandasnya. Sementara Pengamat Kebijakan Publik dan Pemerintahan Rochmat Hidayat SIP MA juga mengomentari polemik jabatan sekda. Dia bahkan menjabarkan aturan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Dalam pasal 4 huruf d, disebutkan bahwa gubernur menetapkan sekda kabupaten/kota. Dalam hal ini, usulan disampaikan bupati/wali kota masing-masing. Artinya, kata dia, Wali kota Cirebon Ano Sutrisno berhak mengajukan calon sekda atau melakukan pergantian. Dengan demikian, hak yang dimaksudkan terkait pergantian Sekda, tidak dalam posisi hak prerogatif atau hak mutlak wali kota. Namun secara garis besar dapat disampaikan, sekda dapat diangkat dan diberhentikan gubernur atas usulan wali kota. “Ini bukan persoalan hak prerogatif. Lebih dari itu, sekda harus seirama dengan wali kota dan wakil wali kota,” ujarnya, Minggu (28/4). Dikatakan alumni S-2 ilmu pemerintahan UGM Jogjakarta itu, pergantian atau pengangkatan sekda lebih kepada penerjemahan logika politis kepala daerah ke dalam logika teknokratis birokratis sekda. Di mana, sekda harus seirama dengan visi dan misi wali kota. Menurut Rochmat, visi dan misi wali kota bersifat politis. Tetapi kebijakan strategisnya bersifat teknokratis (melakukan apa yang secara sistem harus dilakukan). Pergantian sekda, sambung dia, menjadi satu kewajaran dalam menyelaraskan antara kebijakan politis dengan teknokratis, saat wali kota merasa harus menemukan figur yang dapat menerjemahkan visi misinya secara cermat dan sesuai harapan. “Di sini akan terjadi pergulatan kepentingan. Semua kembali kepada keputusan wali kota,” tukas Rochmat. Menemukan figur sekda yang dapat menerjemahkan dan mengamankan logika-logika politis wali kota dan wakil wali kota ke dalam mekanisme teknokratis pemerintahan, membuat kursi sekda bergoyang. Tentunya, ujar Rochmat, jika wali kota merasa cocok dengan sekda yang sekarang, tidak perlu ada pergantian hingga masa jabatan usai. Sebaliknya, apabila wali kota dan wakil wali kota menganggap sekda perlu diganti, itu kebijakan yang sepenuhnya dimiliki wali kota. Pasalnya, mekanisme teknokratis pemerintahan dipegang oleh sekda. Dengan kata lain, sekda memiliki tugas strategis dalam mengkoordinasikan semua instrument birokrasi di Pemkot Cirebon. Secara politis praktis, sekda harus netral. Sebagai aparatur pemerintahan, posisi sekda dalam konteks politik birokrasi. Meskipun demikian, Rochmat menilai jabatan sekda berada dalam pusaran psikologi politik yang kental. “Sekda susah untuk bersikap netral. Pasti kebijakannya dipengaruhi kebijakan atasannya. Hal ini wajar karena sekda manifestasi dari kebijakan wali kota dan wakil wali kota,” terangnya. Hal senada disampaikan aktivis dari Yabpeknas Kota Cirebon, Wahyu Septaji SH. Sikap kenegarawanan wali kota akan di uji dengan komitmen mengawainkan logika politisnya sebagai calon terpilih dengan logika teknokratis strategis yang berdiri untuk semua komponen warga Kota Cirebon. Menurut Wahyu, sah saja jika wali kota memilih sekda yang loyal kepada pimpinannya. Lebih dari itu, kepentingan seluruh warga Kota Cirebon harus menjadi panglima. “Siapa pun tidak boleh melakukan intervensi kepada wali kota dalam setiap kebijakannya. Memberikan masukan dan kritik tidak apa-apa,” pesannya. Dikatakan, kebijakan wali kota tak dapat diintervensi. Wakil wali kota sekalipun, hanya memberikan masukan dan pertimbangan, sedangkan kebijakan tetap ada di tangan wali kota selaku pemegang kebijakan tertinggi di Pemkot Cirebon. Selain itu, dengan pengalaman puluhan tahun mengabdi di birokrasi, Wali kota Ano pasti memiliki penilaian dan pengalaman. Terlebih, Ano pernah menjabat sebagai sekda di era sebelumnya. (kmg/ysf)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: