Bandara Kertajati: Untung atau Rugi?
Perjalanan menuju bandara bertaraf internasional ini begitu panjang. Mulai dari perencanaan, penetapan lokasi, pengadaan lahan, sampai peletakan batu pertama. Gagasan hadirnya Bandara Kertajati sendiri sudah cukup lama. Tahun 2003, ide ini muncul dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jabar. Saat itu, Gubernur Jawa Barat, peralihan dari R. Nuriana pada Danny Setiawan. Latar belakang gagasan itu sendiri, dikarenakan Jawa Barat harus ada bandara baru mengingat jumlah penduduk Jawa Barat yang sudah menyentuh 37 juta diawal 2000-an. Sementara itu Bandara Husein Sastranegara Bandung dinilai sudah sangat padat melayani trasnportasi udara. Adapun Bandara Soekarno-Hatta yang semula masuk administrasi Jawa Barat beralih karena masuk dalam wilayah pemekaran Provinsi Banten. Usulan tersebut kemudian ditindaklanjuti Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dengan membuat studi kelayakan pembangunan pada Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Tahun 2005 ditetapkan lokasi di Kecamatan Kertajati Majalengka lewat surat Keputusan Menteri Perhubungan bernomor 5 tahun 2005. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Jawa Barat akan mempolarisasikan tiga kawasan metropolitan. Secara demografis Majalengka dinilai merupakan titik temu perlintasan dari berbagai daerah pusat ekonomi seperti Bandung, Karawang dan Jakarta. Berjarak sekitar 80 kilometer dari Bandung atau 180 kilometer dari Jakarta dianggap masuk dalam rencana strategis pemerintah mengembangkan potensi ekonomi di tiga kawasan Jawa Barat. https://twitter.com/alvinlie21/status/1116263145222234112?s=19 Pertama, Cirebon Raya meliputi Cirebon Raya, Majalengka, Kuningan dan Indramayu atau kita kenal Ciayumajakuning. Kedua kawasan Bandung Raya dalam lingkup Kota dan Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi dan Kabupaten Sumedang. Ketiga kawasan Bodebekkapur yakni Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta. Selama ini pemerintah kerap menitik beratkan pembangunan ke dua kawasan tersebut: kedua dan ketiga. Sehingga pembangunan kawasan pertama dinilai bisa menjadi harus demi sebuah pemerataan pembangunan yang ujung-ujungnya untuk mengatasi ketimpangan sosial. Integrasi Bandara Kertajati akan sangat strategis karena terhubung dengan Pelabuhan Patimban nantinya dan Pelabuhan Muarajati Cirebon. Kawasan ini menjadi masa depan karena akan terbentuknya segitiga rebana atau segitiga emas. Belum lagi hadirnya Tol Cisumdawu) yang menjadi konektivitas baru di Jawa Barat menghubungkan Kawasan ini. Kajian tersebut kemudian membawa pada sebuah keputusan menteri Nomor 34 tahun 2007 tentang penetapan Master Plan BIJB. BIJB dianggap masuk dalam rencana strategis pembangunan ke depannya oleh pemerintah pusat. Keputusan menteri kemudian dijadikan bekal Pemprov Jabar untuk memulai melakukan pembebasan lahan pada 2009 lalu. Yang dibutuhkan 1.800 hektare. Berikut akan dibangun juga aerocity sebagai Kawasan aetropolis yang menunjang operasional bandara seluas 3.480 hektare. Pembebasan lahan dimasa kepemimpinan Ahmad Heryawan sebagai gubernur dilakukan secara bertahap. Dari 1.800 hektare yang dibutuhkan sampai saat ini 1.040 hektare lahan sudah dibebaskan Pemprov Jabar. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Perhubungan langsung ambil bagian lahan untuk memulai pembangunan sisi udara dengan membuat runway atau landasan pacu pada 2013 lalu. Sisi udara bukan cuma meliputi runway karena ada komponen lain seperti taxi way, apron berikut dan instrument lainnya. Jangan lupakan sisi udara juga ini juga ada pembangunan Air Traffic Control (ATC) yang dibangun AirNav Indonesia. Nilai investasi untuk kebutuhan sisi udara ini menelan Rp 1,01 triliun. Namanya ekosistem bandara penunjang penting lainnya yang diperlukan untuk mengakomodir masyarakat sebelum dan sesudah melakukan penerbangan adalah adanya terminal. Sisi inilah yang cukup menelan anggaran besar, yakni Rp 2,6 triliun. Selain konstruksi, anggaran itu untuk modal kerja dan kesiapan operasional. Pemprov Jabar yang sangat serius ingin memiliki bandara baru langsung membentuk Peraturan Daerah (Perda) Nomor 22 Tahun 2013 yang ditandatangani langsung Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Perda itu menelurkan PT BIJB sebuah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jawa Barat. PT BIJB bertanggung jawab melakukan pembangunan sisi darat, pengoperasian, serta pengembangan bandara dan juga mengembangkan kawasan aerocity yang terintegrasi dengan bandara untuk mengembangkan perekonomian di sekitarnya. Pemprov Jabar dan PT Jasa Sarana saat itu langsung berinvestasi senilai Rp 808 miliar. PT Jasa Sarana memiliki porsi Rp 12,5 miliar, sisanya Pemprov Jabar yang disebut sebagai pemegang saham mayoritas. Sedangkan untuk memenuhi kekurangan PT BIJB berhasil menghimpun dana lewat skema pembiayaan berbasis pinjaman atau loan. Skema inilah PT BIJB bisa menghimpun pinjaman dari tujuh perbankan syariah senilai Rp 906 miliar. Bank tersebut yakni Bank Jateng Syariah selaku lead sindikasi, Bank Sumut Syariah, Bank Jambi Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Kalsel Syariah, Bank Kalbar Syariah dan Bank Sulselbar Syariah. Skema lain, yakni pembiayaan berbasis ekuitas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memberikan pernyataan efektif untuk memenuhi kekurangan pembiayaan bandara ini lewat penerbitan reksa dan penyertaan terbatas (RDPT) dengan maksimal Rp 1 triliun. BIJB menerbitkan RDPT dengan menggandeng PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) sebagai financial advisor serta PT Danareksa Investment Management sebagai investment manager. Pemegang RDPT otomatis jadi pemegang saham BIJB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: