BPKP Ungkap Hasil Audit BPJS

BPKP Ungkap Hasil Audit BPJS

JAKARTA - Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) akhirnya mengeluarkan hasil audit final. Audit ini diharapkan bisa menjadi peta yang memecahkan pelik keuangan BPJS Kesehatan. Kepala BPKP Ardan Adiperdana membeberkan hasil audit BPJS Kesehatan di depan Komisi IX DPR RI. Dalam paparannya itu, dia menyebut ada tiga pokok permasalahan BPJS Kesehatan yang diaudit oleh lembaganya. Pertama, terkait kepesertaan dan kepatuhan, sistem pelayanan dan biaya operasional, serta strategic purchasing. Data yang diterima BPKP merupakan laporan arus kas dan laporan posisi keuangan selama 2018. Selama tahun lalu pendapatan BPJS Rp93,45 triliun, sedangkan bebannya Rp104,73 triliun. Audit tersebut dilakukan di 22.791 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) 2.507 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), dan 126 kantor cabang BPJS serta kantor pusat. \"Ada 1.800 auditor yang turun,\" ujarnya. Menurut Ardan, ada segmen peserta yang pendapatan dari iuran tidak lebih tinggi dari beban pelayanannya. Segmen tersebut ada di peserta bukan penerima upah (PBPU), bukan pekerja (BP), dan peserta penerima bantuan iuran (PBI) APBD. Dia mencontohkan ada penerimaan dari PBPU tahun lalu yang mencapai Rp8,9 triliun. Namun pengeluarannya mencapai Rp22,06 triliun. Temuan lainnya yang menjadi sorotan pada rapat tersebut adalah soal proses perekaman dan pemeliharaan database yang belum optimal. BPKP menemukan 27,4 juta data peserta yang bermasalah. Permasalahan tersebut antara lain 17,17 juta NIK yang tidak 16 digit. Belum lagi ada 4 juta NIK yang berisi karakter alfanumerik. \"Kami juga menemukan 10,1 juta NIK ganda, 2 juta tidak memiliki faskes, dan 1 juta nama lebih berisi kata meninggal,\" ungkapnya. BPKP juga menemukan adanya peserta non aktif yang masih menerima layan, fraud yang dilakukan rumah sakit, serta kelebihan biaya operasional. Ardan meminta agar kebijakan mengenai pemberian dana kapitasi kepada FKTP untuk ditinjau ulang. Selain itu juga diminta untuk meninjau kembali penetapan kelas rumah sakit. Dua hal ini tidak hanya pekerjaan rumah BPJS Kesehatan namun juga Kemenkes dan Kemenkeu. Menanggapi hal itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan BPJS Fahmi Idris langsung menyatakan iuran yang ditetapkan lembaganya perlu dinaikan. \"Dengan hitungan sekarang pasti defisit,\" ucapnya. Beban biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan menurut Fahmi terkait tarif, utilisasi, dan tren morbitas atau penyakit. Dia membeberkan selama ini BPJS Kesehatan dalam mengumpulkan dana dan menyalurkan manfaat tidak memandang persegmen. Fahmi mengungkapkan pendekatan yang dilakukan lembaganya adalah dengan mengumpulkan seluruh dana peserta lalu menyalurkan. Tanpa memisahkan apakah iuran tersebut dari dan untuk peserta dengan segmen tertentu. Terkait temuan BPKP, Fahmi mengungkapkan bahwa lembaganya siap menjalankan rekomendasi BPKP. Pihaknya juga akan terus berkomunikasi untuk melaksanakan rekomendasi itu. \"Sebelumnya juga telah membentuk tim dengan Kemenkes dan KPK untuk mengurangi kecurangan atau fraud,\" ucap Fahmi. Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam kesempatan yang sama mengungkapkan bahwa penyelesaian defisit BPJS Kesehatan tidak hanya bersumber pada penambahan iuran. Dia menyatakan bahwa ada cara lain untuk menambal kebocoran. \"Kepesertaan harus ditingkatkan dan peningkatkan ketertiban iuran,\" ujarnya. Jika hal itu semua itu sudah dilakukan dan masih defisit, menurutnya barulah merujuk pada penyesuaian tarif sesuai perhitungan aktuaris. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menetapkan secara aktuaris iuran peserta BPJS Kesehatan setidaknya Rp36.000 perorang. (lyn/ful)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: