Meneladani Kiprah Tan Tjin Kie

Meneladani Kiprah Tan Tjin Kie

CIREBON - Tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa Cirebon adalah citra atau miniatur Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa, namun tetap bersatu sebagai bagian utuh. Masyarakat Jawa dan Sunda yang telah mendiami lebih dulu, berbaur dengan bangsa-bangsa pendatang seperti Tionghoa, Arab dan India. Etnis Tionghoa sebagai salah satu etnis yang sudah lama mendiami Kota Udang ini, tentu sangat banyak mewarnai sejarah kota ini. Budayawan Nurdin M Noer menyampaikan, interaksi antar masyarakat di Kota Cirebon yang mempunyai latar belakang berbeda, tetap saling menghormati. Kedewasaan dalam menerima satu sama lain itulah, bisa menjadi contoh atas nilai-nilai kebhinekaan. Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah sosok Tan Tjin Kie. Bagi Nurdin, figur Tan Tjin Kie merupakan seorang Tionghoa terkaya dan filantropis yang mendermakan hartanya untuk membantu pembangunan Rumah Sakit Gunung Jati, Wihara Pemancar Keselamatan (Winaon), hingga rumah tempat peristirahatan. “Kalau rumah peristirahatan itu yang sekarang menjadi sekolah Santa Maria,” ungkapnya, Sabtu (22/6). Tidak hanya itu, Tan Tjin Kie juga pernah membangun masjid di Desa Sukadana, Kecamatan Pabuaran. Arsitekturnya sangat unik dan tampak sangat kokoh dengan fondasi cukup tinggi. Sejak dibangun sekitar awal 1919, keasliannya masih sangat terjaga. Masjid ini didirikan atas permintaan seorang tokoh pejuang bernama Raden Setia Pradja pada tahun 1912. “Meskipun dia sendiri Konghu Cu, tetapi juga mendermakan hartanya untuk kelompok lain,” lanjutnya. Nama Majoor Tan Tjin Kie memang memiliki pengaruh luar biasa dalam dunia politik dan militer di Kota Cirebon saat itu. Karena nama besarnya itu, Konsul Jenderal dari Tiongkok pun turut melayat ke Cirebon. Termasuk utusan Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda, Residen Cirebon, dan para Sultan Cirebon. Diperkirakan lebih dari 200.000 orang menyaksikan prosesi jenazah tersebut. Tan Tjin Kie wafat pada Kamis, 13 Februari 1919 dalam usia 66 tahun. Berdasarkan memoir yang dibuat anaknya, Tan Gin Hio, upacara pemakamannya baru digelar pada Rabu, 2 April 1919. Selama 1,5 bulan itu keluarga mempersiapkan upacara penghormatan terakhir nan akbar untuk sang mayor. Biaya upacaranya mencapai ƒ70.000 yang nilainya sepadan dengan emas sekitar 10 kilogram—sekitar Rp5 miliar jika diukur dengan nilai uang sekarang. Selain itu, Tan Tjin Kie juga memiliki beberapa pesanggrahan bergaya Hindia abad ke-19 di seantero Cirebon. Seperti Roemah Pesisir, Roemah Tambak, Roemah Kalitandjoeng. Namun, Gedong Binarong, dengan pilar-pilar anggun, merupakan istana termegahnya yang bertempat di Ciledug, Kabupaten Cirebon bagian timur. Dia juga memiliki Suikerfabriek Luwunggadjah, pabrik gula yang sekaligus menjadi pabrik uangnya. Beberapa peninggalannya masih bisa dilihat hingga sekarang. Namun sebagian lainnya, telah rata dengan tanah. (awr)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: