Hidup dengan Skizofrenia

Hidup dengan Skizofrenia

AKSI seorang wanita berinisial SM yang membawa anjing masuk ke Masjid A Munawaroh, Sentul, Bogor, Jawa Barat mencuri perhatian publik. Seseorang mengaku kerabat menyebutkan SM mengidap penyakit mental skizofrenia paranoid. https://www.instagram.com/p/BzVvnFohGmh/?utm_source=ig_web_copy_link Skizofrenia di Indonesia menjadi permasalahan yang semestinya segera dibenahi, baik dari segi medis maupun sosial. Dalam segi medis, pelayanan kesehatan penyakit skizofrenia masih minim. Ditambah lagi, di ranah sosial, penderita penyakit ini kerap mendapat stigma negatif hingga diskriminasi. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita skizofrenia menyebabkan mereka menjadi sasaran kekerasan psikologis dan fisik di masyarakat. Untuk menyikapi hal ini, kita perlu memahami lebih dalam perkara skizofrenia. Mulai dari penyebab, gejala, hingga penanganannya. Skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang ditandai dengan perubahan tingkah laku yang aneh, mengalami halusinasi panca indera (mendengar, melihat, meraba, mengecap, mencium sesuatu yang tidak ada) dan waham (merasa menjadi sesuatu yang tidak nyata seperti diikuti, diawasi, dibicarakan). Perilaku skizofrenia disebabkan oleh perubahan kimia (neurotransmitter) di otak yang dipicu oleh berbagai macam masalah seperti stress, masalah ekonomi, keluarga, dan sebagainya. Skizofrenia diketahui pula bisa menjadi penyebab depresi, suasana hati menjadi tak tenang, dan neurotisisme (mengalami kecemasan, kemurungan, kekhawatiran yang tinggi, mudah iri, frustasi, cemburuan, dan merasa kesepian). Tingkat keparahan penderita skizofrenia bervariasi. American Psychiatric Association menulis, ketika penyakit ini kambuh, pasien tidak dapat membedakan antara pengalaman nyata dan tidak nyata. Secara lebih rinci, gejala skizofrenia adalah sebagai berikut:

  • Gejala psikotik positif: Halusinasi, seperti mendengar suara, delusi paranoid dan persepsi, keyakinan dan perilaku yang berlebihan atau terdistorsi.
  • Gejala negatif: Penurunan kemampuan bicara, merencanakan, mengekspresikan emosi, atau menemukan kesenangan.
  • Gejala disorganisasi: mulai kacau berpikir dan berbicara, kadang-kadang perilaku aneh atau gerakan abnormal.
  • Gangguan kognisi: bermasalah dengan konsentrasi dan memori.
Penelitian membuktikan depresi dapat mempengaruhi seseorang terserang skizofrenia atau sebaliknya, terlebih jika dia memiliki resiko skizofrenia secara genetik. Hasil penelitian itu dibuktikan oleh tim peneliti dari The University of Edinburgh dan diterbitkan dalam jurnal Translational Psychiatry. Peneliti dari Edinburg menggunakan sampel yang disediakan oleh Generation Scotland, sebuah organisasi kemanusiaan yang memiliki sejumlah relawan dalam mencari tahu penyebab depresi. Lembaga tersebut memeriksa apakah seseorang memikiki gen yang menempatkan mereka pada resiko terserang skizofrenia sehingga menyebabkan seseorang mudah terserang depresi. Penelitian ini juga ingin menunjukkan bahwa mungkin ada kelompok orang yang mengalami depresi dan berakibat pada peningkatan resiko terserang skizofrenia. Deteksi dini skizofrenia amat diperlukan untuk menemukan pengobatan yang tepat. Deteksi dini ini biasanya bisa dilakukan bila ditemukan sejumlah gejala seperti seseorang tidak bisa menyampaikan ide secara runut, konsentrasi terganggu, berhalusinasi atau memiliki persepsi inderawiah palsu dan pergolakan emosi. Spesialis kesehatan jiwa mengungkapkan, penderita skizofrenia (ODS) berpeluang tak perlu mengonsumsi obat dalam jangka panjang bila gejala penyakitnya itu terdeteksi di episode awal. \"Orang dengan skizofrenia perlu mengonsumsi obat jangka panjang. Tetapi bila gangguan ditemukan pada episode awal, pengobatan bisa saja hanya dua tahun, lalu dievalusi apakah obat benar-benar dihentikan,\" ujar dr. A.A. A. Agung Kusumawardhani, SpKJ(K) dilansir Antara. Lebih lanjut, bila penderita masih mengalami kekambuhan, maka dokter perlu mengevaluasi setelah lima tahun masa pengobatan penderita. Obat-obatan di sini dibutuhkan untuk mengatasi kelebihan dopamin itu. Selain obat, penderita juga memerlukan terapi psikososial misalnya pemberian bekal keterampilan agar ia siap kembali ke lingkungan sosialnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: