Paceklik, Petani Tawangsari Minta Solusi dari Bupati

Paceklik, Petani Tawangsari Minta Solusi dari Bupati

CIREBON – Ratusan hektar lahan pertanian di Desa Tawangsari menganggur. Tiga bulan terakhir, petani sempat tidak bisa menggarap lahan karena kesulitan air. Pasalnya usmber pengairan utama sudah tercemar air laut. Bukan hanya berdampak pada produktivitas lahan, masalah tersebut juga membuat ribuan petani kehilangan mata pencaharian. Tiga bulan lebih para petani berhadapak dengan situasi paceklik. Ketua Gapoktan Kelapan Sari Desa Tawangsari, Nursalim menuturkan tiga bulan terakhir himpitan ekonomi begitu dirasakan oleh keluarga petani di Desa Tawangsari. Barang berharga milik petani mau tidak mau dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Sudah tiga bulan kita paceklik, tidak ada pemasukan , tidak bisa bercocok tanam. Kekeringan di wilayah kita paling parah. Ratusan hektar lahan pertanian tidak bisa digarap. Barang-barang berharga  serta tabungan pun sudah habis untuk menutup kebutuhan sehari-hari,” ujarnya. Menurut Nursalim, kerugian lebih besar dihadapi oleh petani yang menyewa lahan. Pasalnya selain tidak bisa bercocok tanam, uang sewa lahan harus tetap dibayar. Sementara petani tidak bisa menanam. “Banyak juga yang akhrinya terjerat utang. Karena harapan awalnya bayar sewa lahan dari hasil panen. Sementara lahannya tidak bisa ditanam,”imbuhnya. Sementara itu, tokoh petani lainnya Abdul Qodir meminta Plt Bupati Cirebon turun ke desa-desa yang kritis akibat musim kemarau. Termasuk Desa Tawangsari.  Menurut Qodir, warga Desa Tawangsari khususnya para petani ingin bertemu dengan bupati untuk meminta solusi dari persoalan kekeringan dan terkontaminasinya air sungai oleh air laut. Apalagi, Plt Bupati memiliki program Jumling yang menyambangi desa-desa di Kabupaten Cirebon. “Saya mengundang dengan hormat Pak Imron untuk hadir ke Tawangsari untuk memberikan saran dan solusi bagi masyarakat khususnya petani. Biar tahu kondisi kami yang ada di perbatasan. Kami juga minta solusi dan petunjuk dari Pak Bupati untuk mengatasi persoalan ini,” jelasnya. Dikatakan Qodir, meskipun saat ini sedang dilakukan perbaikan bendungan karet, namun sampai sejauh ini belum terasa dampaknya. Jangankan air untuk pertanian, kata dia, air PDAM saja masih terasa asin. “Air dari PDAM pun masih asin, masih tidak bisa digunakan. Apalagi air yang untuk pertanian. Para petani sih minta ada penambahan debit air dari Kuningan. Caranya harus pemerintah ke pemerintah atau bisa lewat BBWS,” ujarnya. Qodir menambahkan, air laut yang masuk ke sungai, harus didorong ke luar terlebih dahulu. Caranya dengan menambah debit air dari Kuningan. “Setelah itu baru bisa digunakan lagi,” jelasnya. Terpisah, Fatimah, warga Desa Tawangsari mengaku sudah beberapa bulan terakhir air PDAM tidak bisa digunakan. Untuk kebutuhan sehari-hari, ia dan warga sekitar menggunakan air minum isi ulang. “Kami sehari-hari beli satu sampai dua galon untuk kebutuhan minum dan masak. Sementara untuk kebutuan lain seperti mencuci dan lain-lain menggunakan air sumur yang dibuat dengan biaya sekitar Rp1,2 juta,” ungkapnya. Fatimah pun menyayangkan, meski air PDAM tidak bisa digunakan, ia tetap mendapat tagihan dengan besaran yang sama seperti menggunakan air di kala normal. (dri)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: