DPRD Kota Cirebon Ungkit Raperda Cagar Budaya

DPRD Kota Cirebon Ungkit Raperda Cagar Budaya

LANGKAH pemerintah kota (Pemkot) Cirebon memproteksi situs cagar budaya diharapkan dapat dibarengi dengan aspek regulasi. Meski UU 11/2020 menyatakan bahwa pemerintah kota dapat membuat penetapan dengan surat keputusan (SK) kepala daerah, tapi DPRD Kota Cirebon pernah mengusulkan rancangan peraturan daerah (raperda) perlindungan cagar budaya.

Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon M Handarujati Kalamullah menjelaskan, Raperda Cagar Budaya sempat dibahas panitia khusus (pansus), namun akhirnya ditarik.

Memang saat itu, hasil konsultasi ke permintah provinsi dan pusat dinyatakan bahwa urusan yang diatur dalam raperda cagar budaya ini tidak bisa dilakukan di tingkat kabupaten/kota. “Cagar Budaya itu ruang lingkupnya luas. Ada yang bukan kewenangan pemerintah kota/kabupaten,” katanya.

Meski demikian, pihaknya akan berupaya agar regulasi ini bisa diinisiasi oleh pemerintah yang tingkatanya lebih tinggi. Setidaknya bisa diinisiasi Pemprov Jabar, atau bisa didorong oleh DPRD Provinsi Jawa Barat.

“Kita tetap akan mengusung ini, dengan berkirim surat ke Pemprov agar dapat mengisisiasi Perda Cagar Budaya. Kita juga punya 12 wakil di DPRD Jabar dari X, akan kita minta mereka agar dapat mendorong Pemprov untuk mengakomodir keinginan masyarakat Cirebon ini,” tuturnya.

Dia berharap, dengan adanya regulasi yang mengatur terkait perlindungan cagar budaya ini, proteksi, pemeliharaan, dan pelestarian terhadap benda-benda dan tempat-tempat yang memiliki nilai sejarah di wilyah Cirebon dan sekitarnya ini dapat terus ditingkatkan.

Terkait dengan gagalnya pengesahan Raperda Cagar Budaya, dalam catatan Radar Cirebon, pembahasan dihentikan. Karena isi dari raperda tersebut terlalu mirip dengan UU Cagar Budaya. Sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dalam konten pasal-pasalnya.

Substansi di raperda itu yang menjadi masalah. Misalnya di Raperda Cagar Budaya, ada yang bukan kewenangan pemerintah kota, tapi pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Kemudian konten isi pasal yang cenderung copy paste. Bahkan Komisi III periode 2014-2019 yang melakukan pembahasan ketika itu mengakui raperda sudah bermasalah sejak dari naskah akademik.

Pada akhirnya, Bagian Hukum Pemerintah Kota Cirebon menyampaikan permintaan penarikan dua raperda ini melalui Rapat Badan Musyawarah (Banmus).

Sementara itu, Akademisi Sejarah Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tendi MHum merasa heran dengan adanya rekomendasi pemprov dan kementerian yang menyatakan bahwa urusan cagar budaya bukan merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

“Apabila ada rekomendasi dari pihak kementerian mengenai perda cagar budaya yang konon wewenangnya masuk ke tingkat pemerintahan provinsi, lalu kenapa di sejumlah daerah seperti Makassar, Pasuruan, Wonosobo, dan Mojokerto, bisa ada Perda Cagar Budaya?” ujar Tendi.

Menurutnya, hal ini perlu menjadi perhatian pihak terkait agar bisa menelurkan kebijakan dan regulasi yang tepat mengenai perlindungan cagar budaya itu bisa direalisasikan. Karena, bagaimanapun landasan terpenting dari visi Kota Cirebon adalah sejarah dan budaya.

Terlebih lagi, menurutnya, Cirebon sebagai daerah yang kaya akan sejarah, dengan wujud bukti artefak dan situs yang melimpah. Dia merasa heran pihak terkait tidak berusaha melindungi dan melestarikan warisan budaya tersebut dengan mengeluarkan suatu ketetapan yang distinctive.

“Jual-beli, perusakan, dan tindakan meresahkan lainnya terkait warisan budaya, seperti terus terjadi di daerah kita ini. Apakah ini bukan hal yang mendesak agar pihak-pihak terkait bertindak,” imbuhnya. (azs)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: