Tersangka Kasus Susur Sungai Sempor SMPN 1 Turi Ngaku Gundul Permintaan Sendiri

Tersangka Kasus Susur Sungai Sempor SMPN 1 Turi Ngaku Gundul Permintaan Sendiri

CIREBON - Perlakuan polisi terhadap 3 tersangka pembina Pramuka dalam peristiwa susur sungai SMPN 1 Turi Kabupaten Sleman yang menewaskan 10 orang pelajar menjadi polemik sepanjang siang kemarin. Banyak pihak menganggap apa yang dilakukan polisi kelewat batas.

Ketiga tersangka dipamerkan Polres Sleman ke hadapan media dengan rambut dicukur habis. Meski ada pengakuan terbaru bahwa cukur gundul itu merupakan permintaan sendiri para tersangka.

Ketiga tersangka adalah Isfan Yoppy Andrian (36), Riyanto (58), dan Danang Dewo Subroto (58). Kemarin para tersangka menyatakan cukur rambut itu atas permintaan sendiri.

“Kalau gundul itu permintaan kami. Pada dasarnya alasan kami demi keamanan. Kalau saya tidak gundul banyak yang lihat saya bentuknya (beda, red). Di dalam itu gundul semua. Jadi itu (gundul, red) permintaan kami,” ujar tersangka Yoppy Andrian di Mapolres Sleman.

Yoppy menjelaskan bahwa dia dan 2 tersangka lain juga meminta agar memakai seragam yang sama dengan tahanan lain. Dengan begitu mereka akan aman berbaur dengan tahanan lain.

“Kalau di dalam bajunya sama, gundul semua orang. Jadi tidak spesifik (berbeda) ke saya,” kata dia.

Dari Cirebon, Ketua Dewan pendidikan Kota Cirebon Hediyana Yusuf merasa prihatin atas terjadinya musibah yang menimpa sejumlah siswa saat kegiatan Pramuka di SMPN 1 Turi, Sleman, Jogjakarta. Meski demikian, pihaknya keberatan atas perlakuan aparat kepolisian terhadap pembina Pramuka dan guru yang menjadi tersangka dari peristiwa tersebut.

“Dewan Pendidikan Kota Cirebon keberatan atas tindakan polisi, termasuk memakaikan seragam oranye dan memamerkannya ke publik. Seolah mereka pelaku kejahatan. Perlakuan polisi tersebut dapat dipandang berlebihan,” ujar Hediyana kepada wartawan kemarin (26/2).

Dia memandang mestinya tragedi susur sungai harus dilihat sebagai musibah, tanpa menafikan adanya kelalaian para pembina yang kurang sensitif dalam membaca tanda-tanda alam.

“Maka, tidak seyogyanya diperlakukan seperti itu. Silakan mereka disanksi sesuai hukum yang berlaku, tanpa harus sengaja memamerkan dan mencitrakan para pembina Pramuka guru itu sebagai pelaku pembunuhan. Semoga semua pihak bisa mengambil pelajaran dan hikmah di balik musibah tersebut,” imbuhnya.

Sementara Ketua PGRI Kota Cirebon Abdul Haris turut prihatin atas fenomena tersebut. Namun, pihaknya masih menunggu instruksi dan komando dari PGRI pusat dalam menyikapi peristiwa ini. Termasuk, apakah dimungkinkan adanya komando dari PGRI pusat agar menggelar aksi solidaritas atas perlakuan aparat terhadap guru dan pembina Pramuka yang jadi tersangka.

Senada disampaikan pengurus Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Kota Cirebon Dede Permana. Dikatakan Dede, cara polisi mempertontonkan para tersanggka itu terlalu berlebihan. “PGSI Kota Cirebon prihatin sikap kepolisian,” tegas Dede, kemarin.

Dede bahkan mengingatkan kepolisian untuk mencoba membuka kembali memori bahwa beberapa organisasi profesi, termasuk guru, pernah melakukan MoU dengan kepolisian.

“Ketika guru lalai, diselesiakan di Dewan Kehormatan Guru. Harusnya diselesaikan di situ,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: