DPR Tak Mau Buru-buru Bahas RUU Omnibus Law

DPR Tak Mau Buru-buru Bahas RUU Omnibus Law

JAKARTA - DPR akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melihat dan menganalisis RUU Omnibus Law. Seperti Perpajakan dan Cipta Kerja. Ini dilakukan agar ketika disahkan bermanfaat bagi masyarakat.

Karena itu, dewan enggan terburu-buru dalam memproses pembahasannya. “Intinya tidak terburu-buru. Kita ingin bagaimana Omnibus Law ini bisa diselesaikan dengan baik dan bermanfaat bagi masyarakat,\" kata Ketua DPR RI Puan Maharani di Kompleks Parlemen Jakarta, Kamis (27/2).

Menurutnya, pimpinan DPR RI akan memproses RUU Omnibus Law pada masa sidang mendatang. Saat ini, RUU tersebut diendapkan untuk dicermati dan disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi kegaduhan.

“Agar tidak ada prasangka negatif kepada DPR dan Pemerintah. Shingga sosialisasi harus dilakukan secara bersama-sama. DPR berharap RUU Cipta Kerja itu nanti hasilnya menjadi cipta sejahtera. Sehingga masyarakat terimbas,” papar politisi PDIP ini.

Sebenarnya, lanjut Puan, DPR RI bisa saja memproses RUU Omnibus Law dalam 100 hari kerja. Namun yang jadi pertanyaan apakah hasilnya bermanfaat untuk masyarakat atau tidak. Dia mengatakan, waktu 100 hari kerja itu memang disampaikan pemerintah.

Namun DPR sudah berkomunikasi dengan pemerintah terkait target waktu pembahasannya. “Kami juga sudah berkomunikasi dengan pemerintah bahwa DPR akan melaksanakan ini bersama-sama. Tujuan utamanya agar bermanfaat untuk rakyat Indonesia,” urai Puan.

Keputusan RUU Omnibus Law akan dibahas di Panitia Khusus (Pansus) atau Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Selanjutnya, akan diputuskan pada masa sidang mendatang pada 23 Maret 2020.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit menyatakan, omnibus law cipta lapangan kerja harus bisa menyerap tenaga kerja. Pembahasannya tidak bisa disimplifikasi menjadi persoalan antara buruh dan pengusaha saja.

“Kita harus ingat bahwa negara harus menjamin adanya lapangan kerja yang layak. Saat ini, tercatat 45,8 juta bekerja tidak penuh dan membutuhkan lapangan kerja,” tegas Anton.

Kebutuhan lebih banyak lapangan kerja dan ancaman angkatan kerja yang menganggur, menjadi persoalan yang coba diselesaikan melalui beleid ini.

“Ada 7 juta orang lebih pengangguran terbuka. Bukan hanya itu, ada 25 juta orang yang tercatat absolut berada di bawah garis kemiskinan. Ini juga perlu diperhatikan,” imbuhnya.

Pemerintah, lanjutnya, saat ini tidak memiliki banyak pilihan menyelesaikan problem yang sangat kompleks tersebut. Apalagi Indonesia saat ini ada di tengah ancaman perlambatan ekonomi dunia. Dimana, kondisi ekspor menurun dan target penerimamaan pajak belum tercapai.

Anton menambahkan, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus dipahami secara keseluruhan. Dari 79 Undang-Undang yang diperkirakan menghambat investasi, hanya tiga UU yang berkaitan dengan aturan ketenagakerjaan.

Selain itu, sentimen penolakan yang dimunculkan saat ini seakan-akan mengorbankan buruh yang sudah bekerja. “Padahal tidak juga. Soal pesangon, saat ini Indonesia tingkatnya bisa dibilang salah satu yang tertinggi di dunia,” pungkasnya. (rh/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: