Kisah Azan Pitu Mengusir Wabah Baruan Nandi di Cirebon

Kisah Azan Pitu Mengusir Wabah Baruan Nandi di Cirebon

Cirebon punya sejarah terkena wabah penyakit yang parah, pada masa-masa awal berdirinya kesultanan. Setelah melakukan berbagai ikhtiar, wabah tersebut akhirnya dapat ditangkal melalui berserah diri (tawakal), dengan mengumandangkan azan oleh tujuh orang ulama sekaligus, atau yang kini dikenal dengan Azan Pitu.

AZIS MUHTAROM, Cirebon

DI masa awal penyebaran ajaran Islam di tanah Caruban, banyak pihak yang tidak menyukainya. Berbagai upaya dilakukan pihak luar agar warga Cirebon menjauh dari ajaran Islam, yang paling parah adalah diserangnya Masjid Sang Cipta Rasa dengan suatu wabah yang dalam naskah kuno dinamakan Baruan Nandi.

Kondisi saat itu membuat Masjid Sang Cipta Rasa sempat terjadi kebakaran hebat. Kebakaran tersebut ditengarai bukan kebakaran biasa, ada yang merancang musibah. Sbab selama beberapa waktu yang cukup lama, banyak warga yang terserang penyakit aneh akibat wabah ini.

“Baruan artinya semacam singa berambut panjang, nandi artinya sakti. Banyak orang dulu yang sorenya sakit, paginya langsung meninggal,” ujar Budayawan dan Ahli Naskah Kuno, M Rafan Safari Hasyim.

Peristiwa tersebut, terjadi pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, cicit dari Sunan Gunung Jati. Sang Sultan yang bertakhta saat itu sudah mengerahkan berbagai upaya untuk menanganinya. Hingga akhirnya, mendapat nasihat dari Ratu Dewi Dalem Pakungwati, Nenek Buyutnya yang juga istri mendiang Sunang Gunung Jati.

Nenek buyutnya tersebut memilih untuk turun tangan mengatasi wabah musibah ini. Panembahan Ratu yang saat itu masih belia, dilarang turun tangan langsung, karena kehadiranya masih sangat dibutuhkan oleh rakyatnya guna memimpin kesultanan.

“Atas nasihat tersebut, akhirnya Mimi Dewi Pakungwati memimpin pemadaman masjid itu. Ya dengan azan pitu itu. Kemudian ada ledakan, terus Ratu Dalem Pakungwati hilang, meninggal dan jasadnya tidak ada. Kalau kepercayaan orang-orang suci itu jasadnya dibawa, wabahnya ikut ilang seketika itu,” ulasnya.

Dia menyebutkan setelah wafatnya Sunan Gunung Jati, cobaan yang luar biasa mendera warga Cirebon saat itu. Sampai dicari sedapat mungkin siapa satria yang bisa menghadapi itu, karena pada waktu itu generasi tua yang sakti-sakti habis (meninggal). Seluruh warga Cirebon diserang, dengan pusat wabahnya di Masjid Cipta Rasa.

Hingga kini azan pitu pun masih dilestarikan, dengan filosofi tujuh itu artinya jamak. Dengan ikhtiar yang sudah maksimal melalui cara mentauhidkan Allah secara total. Berserah diri pada Allah menjadi jalan terakhir.

SELALU KOMPAK, TAK ADA LATIHAN DAN MENYAMAKAN NADA

Azan pitu selalu menghadirkan kesan tersendiri. Untuk mereka yang mengikuti salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Nadanya, berbeda dengan Azan yang sehari-hari kita dengar. Dilantunkan tujuh orang bersamaan.

Tak ada persiapan yang istimewa. Juga tak ada latihan menyamakan nada. Langgam. Semuanya sudah paham tugas masing-masing.

Ini memungkinkan terjadi karena muazin Azan Pitu ini turun temurun. Bukan hanya personelnya. Tapi juga cara melafalkannya. Ustadz Fatoni, Adnan, Ismail, Zaenal, Bajuri, Apud dan Munadi, siang itu yang bertugas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: